![]() |
Foto penulis (dok. istimewa) |
Mungkin terlalu berlebihan tulisan ini
memberi sebuah judul dengan terminologi “Mazhab” tapi rasanya kalau di turunkan
melalui penerjemahan yang sederhana para pembaca akan memahami maksud penulis. Mazhab
merupakan istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan
dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik kongkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi
ciri khasnya, maka apa yang akan menjadi value
ciri khas Mazhab Politik Kabupaten Bima, misalnya seperti Mazhab Frankfurt yang
menjadi ciri khasnya kritisisme, Mazhab Annales yang fokusnya soal sejarah dan
atau mazhab Islam yang merumuskan
metode untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapi dengan merujuknya
pada fiqih.
Maka mazhab
politik Bima sebagai sebuah panduan partikular untuk mengingatkan pemimpin
daerah kita betapa pentingnya nilai kemanusiaan (humanism) ketimbang problem yang
lain, Politik dalam penjelasan ontologi hanya metode atau sarana untuk mencapai
tujuan yang di maksud, menyelaraskan dengan pendapat Gus Dur, politik adalah
jalan atau wasilah menuju pewujudan hakikat kemanusiaan yang terbaik. Politik
bukanlah jalan untuk semata mendapatkan kekuasaan atau untuk mendapatkan akses
terhadap sumber daya (Indonesia), juga bukan jalan untuk mendapatkan kemuliaan
penghormatan. Politik juga bukan alat untuk melanggengkan dinasti. Apalagi
untuk kepentingan kejayaan kelompok dengan mendiskriminasi kelompok lain.
Dari penjelasan
singkat diatas saudara-saudari semua dapat memahami Mazhab itu seperti apa dan
bagaimana, untuk mengsingkronisasi paradigma umum terkait Mazhab Politik Bima: Sebagai Jalan Menuju Egalitarianisme penulis
akan mengawali dengan melihat tradisi politik Bima secara substansif.
Semakin kesini
sajian politik daerah Bima lebih dominan memperlihatkan pendekatan
ultilitarianisme yang menjual narasi moralitas kesukuan, tingkat religiusitas,
janji politik transendental dan hal-hal moralitas berjubah kebaikan (gotong
royong, kasi sumbangan, memperbaiki jalan raya), sehingga semua terhegemoni
dalam skema jebakan pemimpin berkuasa bahwa pemimpin yang sekarang masih
layak untuk di dukung menjadi bagian struktur penting dalam jabatan politik
berikutnya. Reputasi buruk yang di lakukan pemerintah daerah sebelumnya
terabaikan dengan satu jebakan moralitas yang tidak memiliki hari depan
terhadap sebuah daerah, yang perlu di garis bawahi kebaikan belum tentu benar
sebab kebenaran sudah tentu baik.
Penulis mencoba memberikan satu pandangan
yang paradox tentang kebaikan pemimpin daerah sebagaimana mainstream di lakukan
sama masyarakat bima: rasanya tidak pantas warga (masyarakat) memberikan
apresiasi terhadap Kepala Desa-Lurah, Bupati-Walikota dengan alasan karena
mendapatkan berupa bantuan renovasi rumah, perbaikan jalan dan sejenisnya,
karena semua itu sudah menjadi hak warga (masyarakat) untuk mendapatkan nya.
Kalau ada pemerintah yang menyampaikan narasi demikian berarti tidak memahami
konsep berbangsa dan bernegara secara universal kenapa pemerintah di bentuk,
argumentasi seputar ini dalam logika pemerintah yang masih sangat dominan maka
pemerintah yang sedang berkuasa memanfaatkan perspektif yang berkembang untuk
terus di pertahankan, tidak heran proses pembangunan infrastruktur seperti perbaikan
jalan raya terselenggara pas akhir periode kepemimpinan karena kalau di lakukan
pas awal kepemimpinan masyarakat akan cepat lupa dan kalau di lakukan selesai
akhir kepemimpinan aka ada sinyal negatif yang bernuansa politis terhadap
kepentingan PILKADA berikutnya, rakyat (manusia Bima) harus kritisi melihat
logika pemerintah dalam segala pelaksanaan programnya. Penulis sendiri
berpandangan bahwa kita semua harusnya tidak mengharapkan kebaikan dari
pemerintah daerah Bima sebab kebaikan itu sifatnya bisa saja manipulatif tapi yang
di inginkan adalah menjalankan amanah yang diberikan sebagai sebuah
fungsionaris penjabat publik, dalam posisi seperti apapun tidak ada yang
namanya pemerintah yang baik karena itu sudah menjadi kewajiban yang mesti di
laksanakan. Contoh viral baru-baru ini mantan pemimpin daerah Kota Bima
terjerat kasus korupsi, pelaku korupsi ini di kenal baik karena sering hadir di
acara-acara mahasiswa, sering ikut dalam kegiatan bersama warga, pintar
berdebat, apa yang terjadi orang baik melakukan korupsi juga pada akhirnya,
kebaikan seorang penjabat publik adalah bagian dari intrik politik untuk
mendominasi pemikiran warga, rakyat Bima butuh pemimpin yang benar bukan yang
baik.
Mengacu terhadap teori kontrak sosial yang
menjelaskan perjanjian antara rakyat dengan para pemimpinnya, atau antara
manusia-manusia yang tergabung di dalam komunitas tertentu sehingga melahirkan
sebuah kesepakatan bersama (mutual agreement), kesepakatan itu yang di jadikan legal standing dalam setiap relasi
sosial berlangsung. kontrak sosial tidak mesti di pahami secara linier
berdasarkan cara pandang rezim pragmatisme yang hanya menunggu hasil kesepakan
berakhir baru di buat kontrak sosial baru, tapi menurut penulis kontrak sosial
bisa saja di lakukan oleh basis otonom yang melihat bahwa kontrak sosial dalam
perjalanannya tidak susuai lagi dengan prinsip dasar sebagai cita-cita
memajukan daerah Kabupaten Bima, rakyat bersama-sama harus segera membuat
kontrak sosial baru yang menguntungkan semua pihak jikalau problem sosial tidak bisa terdamaikan.
Sangat menarik kalau kita mengikuti
kritikan John Rawls dalam buku “A
Theory Of Juctice” terhadap teori moral Ultilitarianisme terutama di
tunjukan kepada John Stuart Mill yang menjelaskan “sebuah tindakan adalah benar
secara proporsional jika ia mendorong kebahagiaan, dan salah jika ia cenderung
menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan”. Menurut John Rawls,
ultilitarianisme memiliki kelemahan sebagai teori keadilan karena teori ini
memungkinkan mayoritas orang untuk menindas kelompok minoritas, seperti
kekayaan atau peluang yang lebih besar, yang diberikan kepada mayoritas lebih
besar daripada manfaat sosial yang tidak dinikmati oleh kelompok minoritas.
Penulis berupaya memberikan tanggapan
terhadap kadar teori ataupun fakta sosial yang muncul harus di rumuskan dalam
realita yang bisa di komparasi seperti teori utilitarian tetap di butuhkan dan
begitupun teori keadilan fairness dalam takaran masing-masing, bagaimana agar
tidak memunculkan kontradiktif yang saling mendominasi maka dibutuhkan basis
penetralisir sebagai sarana khusus seperti kontrak sosial, maka sebagai kode
pengaman agar tidak tumpang tindih mesti membuat prinsip-prinsip yang sangat
ketat yang di ikuti oleh basis kepentingan bersama. Sebagai catatan kontrak
sosial bukan hanya PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) tapi semua urusan sosial
yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang lahir dari pertimbangan publik
dan di perutungkan untuk semua pihak, PILKADA bisa saja hasilnya tidak sesuai
keinginan semua masyarakat tapi bisa saja mewakili kelompok tertentu, maka
menurut penulis kontrak sosial bisa saja di lakukan untuk melegitimasi hal
demikian, sebagaimana dalam catatan kepemimpinan daerah Kabupaten Bima yang
lahir dari PILKADA adalah oran-orang yang tidak mewakili semua pihak.
Sebagai teori untuk memperkuat argumentasi
penulis mengambil pernyataan Friedrich Engels dalam buku “Kririk Dhuring”
mendedikasikan satu bab penuh untuk membahas persoalan kesetaraan. Hal ini
karena konsep moral tentang kesetaraan menjadi sangat penting dalam perjuangan
kelas sejak masa pencerahan. Penulis menyederhanakan sebuah terminologi perjuangan
kelas yang disampaikan Engels dengan situasi Kabupaten Bima
yaitu kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses atas kekuasaan dan tidak di
perhitungkan suaranya terkecuali suaranya dalam PILKADA, Ini menjadi contoh
yang sangat baik tentang bagaimana konsep moral didasarkan pada kepentingan
masyarakat pada umumnya. Engels menunjukkan bagaimana gagasan
kesetaraan sebagai sebuah tuntutan politik berkembang seiring dengan berkembangnya
kesenjangan yang lebih penting, kelayakan material dari kesetaraan politik atau
hukum.
Mari melihat presentasi prestasi hasil
PILKADA 2025 Dan 2020 menilai atas fakta sosial berapa banyak orang (aktivis)
pejuang pembanguan infrastruktur di penjarakan, bagaimana pemerintah daerah
dalam hal ini Bupati tidak memiliki kuasa penuh dalam mengatur standar harga
pertanian, perang antar kampung terjadi karena tidak ada intrik politik daerah
yang mengarah terhadap kebenaran bersama malah senang memprovokasi kearah
pertempuran yang menghasilkan pertumpahan darah, terjadi terror pemanahan di
mana-mana, sistem birokrasi yang sangat lambat dalam melakukan transformatif
terhadap perkembangan digital, semuanya mengalami ketergantungan pengaruh
sehingga representasi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) sangat minim
prestasi “saya punya dugaan kuat
bahwa DPRD Kabupaten Bima tidak bisa menyusun
PERDA (Peraturan Daerah)” justru yang terjadi dua tahun antara 2022-2023 KPR
Bima-NTB malah membuat usulan masukan serta draf tata cara perumusan peraturan
daerah dalam sektor pertanian.
Bukan lagi rahasia personal dan partai
politik tertentu tapi sudah menjadi tontonan publik dengan bangga pemerintah
Kabupaten-Kota Bima, Dewan Perwakilan Rakyat, Birokrasi Kampus yang memukul
mahasiswa memperlihatkan kegagalan penyelesaian masalah (problem solving), kita
harus jujur butuh pemimpin yang punya gagasan transformatif yang tidak terpapar
pemikiran pragmatisme politik elektoral (jabatan politik sebagai jalan mementingkan
kebutuhan personal), lebih lengkapnya seperti yang penulis sampaikan dalam judul
“Kabupaten
Bima Butuh Pemimpin Alternati”.
Jalan
menuju masyarakat egalitarianisme: bayangkan politik daerah
Bima di bangun berdasarkan keyakinan tentang persamaan hak, meraih
kesejahteraan dan kesempatan yang sama bagi setiap individu pasti akan lahir sebuah kehidupan yang harmonis, jauh dari konflik
dan tentunya selalu dekat dengan nilai kemanusiaan. sebagaimana banyak tokoh
menyampaikan, dalam Undang-Undang
mengamanatkan serta kitab suci umat Islam menjelaskan sebuah kesetaraan,
kesamaan dalam ruang publik sangat di anjurkan sebesar-besarnya seperti akses
atas menuntut ilmu, berkarir, kesetaraan itu sebagai sebuah kelebihan manusia
di antara salah satu ciri pembada dengan binatang, karena manusia di bekali
rasio untuk menata lebih beradab kehidupan dan bisa membangun peradaban yang
lebih harmonis ketimbang binatang, tapi manusia justru bisa seperti binatang
kalau dia tidak memiliki rasa kemanusiaan sebagai panduan hidupnya, kalau rasa
kemanusiaan d jauhkan dalam prinsip malah yang lahir rasa kerakusan dan hasrat
untuk menindas saudara sediri.
Kesetaraan dalam perspektif penulis adalah
sebuah hak demokrasi dalam bangunan politik institusi negara atau dalam konteks
ini pemerintah daerah yang hari ini sebagai instrument-perangkat yang
menjalankan negara tersebut, seperti kesetaraan mendapatkan hak dan
perlindungan dimata hukum. Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan
menunjukan adanya tingkat yang sama, kedudukan yang sama dan dihitung melalui
skema kebutuhan.
Penulis mencoba memahami sugesti pembaca,
mungkin membaca judul diatas di rasa punya interpretasi mazhab seperti penjelasan
kongkrit Mazhab Imam besar umat Islam seperti Abu Hanafiah bin Nu’umah bin
Tsabit Al-Taimi Al-Kuhfi (Imam Hanafi), Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin
Amr bin Al-Harrits (Imam Malik), Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Imam
Syafi,i), Ahmad bin Hambal (Imam Hambali), Mazhab politik kabupaten bima ini
kalau di pahami secara psikologi penulis menginginkan satu bentuk struktural
yang ideal dalam masyarakat Bima sehingga entitas akan selalu terjaga bukan
karena sekedar kultural tapi lebih jauh yaitu soal kemanusiaan yang punya cara
pandang ideologis. Poin-poin di bawah ini yang coba ditawarkan sebagai substansi
dari Mazhab Politik Bima:
1. 1. Politik
tidak lebih penting dari rasa kemanusiaan;
2. 2. Basis
ekonomi rakyat berkelanjutan;
3. 3. Kulturasi
budaya berdasarkan basis materilnya;
4. 4. Futurasi
politik yang tidak terpisah dengan kepentingan masyarakat;
5. 5. Tradisi
kritik harus di kembangkan;
6. 6. Pemimpin
yang memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan;
7. 7. Semua
warga (masyarakat) memiliki akses yang sama;
8. 8. Menghargai
manusia tanpa memandang golongan;
9. 9. Egalitarian sebagai ukuran.
Poin diatas
penulis menyadari tidak cukup memberikan urainya singkat tapi perlu menjelas
secara eksplisit seperti halnya sebuah konsep panduan atau falsafah yang
memiliki konotasi-konotasi, tapi karena tulisan ini memerlukan perdebatan dan mendiskusikan yang meluas dari kalangan pecinta literasi,aktivis Bima dan akademis,
lebih tepatnya tulisan baiknya menjadikan sebuah buku dengan poin-poin diatas
menjadi bab-babnya.
Mazhab politik
kabupaten bima sebagai seri dua (2) dari tulisan yang berjudul Kabupaten Bima Butuh Pemimpin Alternatif
.
Penulis belum bisa memberikan kesimpulan terlalu dini secara ideal terhadap gagasan besar ini tapi hanya mampu memberikan premis-premis yang bisa di tarik kesimpulan oleh pembaca sendiri, karena pada dasarnya tulisan ini mencari lingkaran besar untuk berdiskusi lebih lanjut.*
“Politik harus di pimpin oleh ‘yang benar’ bukan yang legitimet” PLATO.