Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mazhab Politik Bima: Sebagai Jalan Menuju Mayarakat Egalitarianisme

Senin, 05 Februari 2024 | Februari 05, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-02-06T07:05:13Z

Foto penulis (dok. istimewa)

Narasi Indonesia.com, MATARAM-Berusaha memberikan penjelasan partikular mengenai Mazhab Politik Bima sebagai gagasan yang merekonstruksi narasi politik publik pada pendekatan humanisme, sebagaimana penulis pahami humanisme mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih harmonis, berdasarkan asas perikemanusiaan, pengabdi terhadap kepentingan sesama umat manusia dan segala urusan yang berkaitan dengan ekonomi politik tetap mengutamakan rasa kemanusiaan. dalam perjalan-nya makna yang tertanam dalam masyarakat Bima pada umumnya mengandung nilai yang kuat atas asas persaudaraan yang disebut Dou Mbojo, makna filosofis yang melekat terhadap orang Bima harus di kembalikan pada basis penerjemahan yang moderen terhadap perkembangan situasi dan ilmu pengetahuan sekarang. supaya tidak multi tafsir maka saya akan highlight interpretasi warga (masyarakat) mengenai problem klasik yang selama ini menganggap pemimpin daerah memiliki otoritas tunggal atas instrumen politik yang terjadi di Kabupaten-Kota Bima dengan terminologi yang melibatkan logika, istilah politik dan  teori filsafat politik sebagai basis epistemologi. Bima sekarang sudah menjadi dua wilayah daerah administrasi yang berbeda yaitu Kabupaten Bima dan Kota Bima, sebagai dasar hukum berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2022, PP RI No. 77 Tahun 1998  Kota Bima mengambil kesempatan untuk membuat wilayah administrasi tersendiri, tidak menghilangkan makna eksistensi masyarakat Bima semuanya berjalan sampai hari-hari ini sebutan Mbojo adalah istilah yang bermakna akrab terhadap semua kalangan masyarakat.

Mungkin terlalu berlebihan tulisan ini memberi sebuah judul dengan terminologi “Mazhab” tapi rasanya kalau di turunkan melalui penerjemahan yang sederhana para pembaca akan memahami maksud penulis. Mazhab merupakan istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik kongkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya, maka apa yang akan menjadi value ciri khas Mazhab Politik Kabupaten Bima, misalnya seperti Mazhab Frankfurt yang menjadi ciri khasnya kritisisme, Mazhab Annales yang fokusnya soal sejarah dan atau mazhab Islam yang merumuskan metode untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapi dengan merujuknya pada fiqih.


Maka mazhab politik Bima sebagai sebuah panduan partikular untuk mengingatkan pemimpin daerah kita betapa pentingnya nilai kemanusiaan (humanism) ketimbang problem yang lain, Politik dalam penjelasan ontologi hanya metode atau sarana untuk mencapai tujuan yang di maksud, menyelaraskan dengan pendapat Gus Dur, politik adalah jalan atau wasilah menuju pewujudan hakikat kemanusiaan yang terbaik. Politik bukanlah jalan untuk semata mendapatkan kekuasaan atau untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya (Indonesia), juga bukan jalan untuk mendapatkan kemuliaan penghormatan. Politik juga bukan alat untuk melanggengkan dinasti. Apalagi untuk kepentingan kejayaan kelompok dengan mendiskriminasi kelompok lain.

 

Dari penjelasan singkat diatas saudara-saudari semua dapat memahami Mazhab itu seperti apa dan bagaimana, untuk mengsingkronisasi paradigma umum terkait Mazhab Politik Bima: Sebagai Jalan Menuju Egalitarianisme penulis akan mengawali dengan melihat tradisi politik Bima secara substansif.


Semakin kesini sajian politik daerah Bima lebih dominan memperlihatkan pendekatan ultilitarianisme yang menjual narasi moralitas kesukuan, tingkat religiusitas, janji politik transendental dan hal-hal moralitas berjubah kebaikan (gotong royong, kasi sumbangan, memperbaiki jalan raya), sehingga semua terhegemoni dalam skema jebakan pemimpin berkuasa bahwa pemimpin yang sekarang masih layak untuk di dukung menjadi bagian struktur penting dalam jabatan politik berikutnya. Reputasi buruk yang di lakukan pemerintah daerah sebelumnya terabaikan dengan satu jebakan moralitas yang tidak memiliki hari depan terhadap sebuah daerah, yang perlu di garis bawahi kebaikan belum tentu benar sebab kebenaran sudah tentu baik.

 

Penulis mencoba memberikan satu pandangan yang paradox tentang kebaikan pemimpin daerah sebagaimana mainstream di lakukan sama masyarakat bima: rasanya tidak pantas warga (masyarakat) memberikan apresiasi terhadap Kepala Desa-Lurah, Bupati-Walikota dengan alasan karena mendapatkan berupa bantuan renovasi rumah, perbaikan jalan dan sejenisnya, karena semua itu sudah menjadi hak warga (masyarakat) untuk mendapatkan nya. Kalau ada pemerintah yang menyampaikan narasi demikian berarti tidak memahami konsep berbangsa dan bernegara secara universal kenapa pemerintah di bentuk, argumentasi seputar ini dalam logika pemerintah yang masih sangat dominan maka pemerintah yang sedang berkuasa memanfaatkan perspektif yang berkembang untuk terus di pertahankan, tidak heran proses pembangunan infrastruktur seperti perbaikan jalan raya terselenggara pas akhir periode kepemimpinan karena kalau di lakukan pas awal kepemimpinan masyarakat akan cepat lupa dan kalau di lakukan selesai akhir kepemimpinan aka ada sinyal negatif yang bernuansa politis terhadap kepentingan PILKADA berikutnya, rakyat (manusia Bima) harus kritisi melihat logika pemerintah dalam segala pelaksanaan programnya. Penulis sendiri berpandangan bahwa kita semua harusnya tidak mengharapkan kebaikan dari pemerintah daerah Bima sebab kebaikan itu sifatnya bisa saja manipulatif tapi yang di inginkan adalah menjalankan amanah yang diberikan sebagai sebuah fungsionaris penjabat publik, dalam posisi seperti apapun tidak ada yang namanya pemerintah yang baik karena itu sudah menjadi kewajiban yang mesti di laksanakan. Contoh viral baru-baru ini mantan pemimpin daerah Kota Bima terjerat kasus korupsi, pelaku korupsi ini di kenal baik karena sering hadir di acara-acara mahasiswa, sering ikut dalam kegiatan bersama warga, pintar berdebat, apa yang terjadi orang baik melakukan korupsi juga pada akhirnya, kebaikan seorang penjabat publik adalah bagian dari intrik politik untuk mendominasi pemikiran warga, rakyat Bima butuh pemimpin yang benar bukan yang baik.


Mengacu terhadap teori kontrak sosial yang menjelaskan perjanjian antara rakyat dengan para pemimpinnya, atau antara manusia-manusia yang tergabung di dalam komunitas tertentu sehingga melahirkan sebuah kesepakatan bersama (mutual agreement), kesepakatan itu yang di jadikan legal standing dalam setiap relasi sosial berlangsung. kontrak sosial tidak mesti di pahami secara linier berdasarkan cara pandang rezim pragmatisme yang hanya menunggu hasil kesepakan berakhir baru di buat kontrak sosial baru, tapi menurut penulis kontrak sosial bisa saja di lakukan oleh basis otonom yang melihat bahwa kontrak sosial dalam perjalanannya tidak susuai lagi dengan prinsip dasar sebagai cita-cita memajukan daerah Kabupaten Bima, rakyat bersama-sama harus segera membuat kontrak sosial baru yang menguntungkan semua pihak jikalau problem sosial tidak bisa terdamaikan.


Sangat menarik kalau kita mengikuti kritikan John Rawls dalam buku “A Theory Of Juctice” terhadap teori moral Ultilitarianisme terutama di tunjukan kepada John Stuart Mill yang menjelaskan “sebuah tindakan adalah benar secara proporsional jika ia mendorong kebahagiaan, dan salah jika ia cenderung menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan”. Menurut John Rawls, ultilitarianisme memiliki kelemahan sebagai teori keadilan karena teori ini memungkinkan mayoritas orang untuk menindas kelompok minoritas, seperti kekayaan atau peluang yang lebih besar, yang diberikan kepada mayoritas lebih besar daripada manfaat sosial yang tidak dinikmati oleh kelompok minoritas.


Penulis berupaya memberikan tanggapan terhadap kadar teori ataupun fakta sosial yang muncul harus di rumuskan dalam realita yang bisa di komparasi seperti teori utilitarian tetap di butuhkan dan begitupun teori keadilan fairness dalam takaran masing-masing, bagaimana agar tidak memunculkan kontradiktif yang saling mendominasi maka dibutuhkan basis penetralisir sebagai sarana khusus seperti kontrak sosial, maka sebagai kode pengaman agar tidak tumpang tindih mesti membuat prinsip-prinsip yang sangat ketat yang di ikuti oleh basis kepentingan bersama. Sebagai catatan kontrak sosial bukan hanya PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) tapi semua urusan sosial yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang lahir dari pertimbangan publik dan di perutungkan untuk semua pihak, PILKADA bisa saja hasilnya tidak sesuai keinginan semua masyarakat tapi bisa saja mewakili kelompok tertentu, maka menurut penulis kontrak sosial bisa saja di lakukan untuk melegitimasi hal demikian, sebagaimana dalam catatan kepemimpinan daerah Kabupaten Bima yang lahir dari PILKADA adalah oran-orang yang tidak mewakili semua pihak.


Sebagai teori untuk memperkuat argumentasi penulis mengambil pernyataan Friedrich Engels dalam buku “Kririk Dhuring” mendedikasikan satu bab penuh untuk membahas persoalan kesetaraan. Hal ini karena konsep moral tentang kesetaraan menjadi sangat penting dalam perjuangan kelas sejak masa pencerahan. Penulis menyederhanakan sebuah terminologi perjuangan kelas yang disampaikan Engels dengan situasi Kabupaten Bima yaitu kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses atas kekuasaan dan tidak di perhitungkan suaranya terkecuali suaranya dalam PILKADA, Ini menjadi contoh yang sangat baik tentang bagaimana konsep moral didasarkan pada kepentingan masyarakat pada umumnya. Engels menunjukkan bagaimana gagasan kesetaraan sebagai sebuah tuntutan politik berkembang seiring dengan berkembangnya kesenjangan yang lebih penting, kelayakan material dari kesetaraan politik atau hukum.


Mari melihat presentasi prestasi hasil PILKADA 2025 Dan 2020 menilai atas fakta sosial berapa banyak orang (aktivis) pejuang pembanguan infrastruktur di penjarakan, bagaimana pemerintah daerah dalam hal ini Bupati tidak memiliki kuasa penuh dalam mengatur standar harga pertanian, perang antar kampung terjadi karena tidak ada intrik politik daerah yang mengarah terhadap kebenaran bersama malah senang memprovokasi kearah pertempuran yang menghasilkan pertumpahan darah, terjadi terror pemanahan di mana-mana, sistem birokrasi yang sangat lambat dalam melakukan transformatif terhadap perkembangan digital, semuanya mengalami ketergantungan pengaruh sehingga representasi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) sangat minim prestasi “saya punya dugaan kuat bahwa  DPRD Kabupaten Bima tidak bisa menyusun PERDA (Peraturan Daerah)” justru yang terjadi dua tahun antara 2022-2023 KPR Bima-NTB malah membuat usulan masukan serta draf tata cara perumusan peraturan daerah dalam sektor pertanian.


Bukan lagi rahasia personal dan partai politik tertentu tapi sudah menjadi tontonan publik dengan bangga pemerintah Kabupaten-Kota Bima, Dewan Perwakilan Rakyat, Birokrasi Kampus yang memukul mahasiswa memperlihatkan kegagalan penyelesaian masalah (problem solving), kita harus jujur butuh pemimpin yang punya gagasan transformatif yang tidak terpapar pemikiran pragmatisme politik elektoral (jabatan politik sebagai jalan mementingkan kebutuhan personal), lebih lengkapnya seperti yang penulis sampaikan dalam judul “Kabupaten Bima Butuh Pemimpin Alternati”.


Jalan menuju masyarakat egalitarianisme: bayangkan politik daerah Bima di bangun berdasarkan keyakinan tentang persamaan hak, meraih kesejahteraan dan kesempatan yang sama bagi setiap individu pasti akan lahir sebuah kehidupan yang harmonis, jauh dari konflik dan tentunya selalu dekat dengan nilai kemanusiaan. sebagaimana banyak tokoh menyampaikan, dalam Undang-Undang  mengamanatkan serta kitab suci umat Islam menjelaskan sebuah kesetaraan, kesamaan dalam ruang publik sangat di anjurkan sebesar-besarnya seperti akses atas menuntut ilmu, berkarir, kesetaraan itu sebagai sebuah kelebihan manusia di antara salah satu ciri pembada dengan binatang, karena manusia di bekali rasio untuk menata lebih beradab kehidupan dan bisa membangun peradaban yang lebih harmonis ketimbang binatang, tapi manusia justru bisa seperti binatang kalau dia tidak memiliki rasa kemanusiaan sebagai panduan hidupnya, kalau rasa kemanusiaan d jauhkan dalam prinsip malah yang lahir rasa kerakusan dan hasrat untuk menindas saudara sediri.


Kesetaraan dalam perspektif penulis adalah sebuah hak demokrasi dalam bangunan politik institusi negara atau dalam konteks ini pemerintah daerah yang hari ini sebagai instrument-perangkat yang menjalankan negara tersebut, seperti kesetaraan mendapatkan hak dan perlindungan dimata hukum. Dengan demikian, kesetaraan atau kesederajatan menunjukan adanya tingkat yang sama, kedudukan yang sama dan dihitung melalui skema kebutuhan. 


Penulis mencoba memahami sugesti pembaca, mungkin membaca judul diatas di rasa punya interpretasi mazhab seperti penjelasan kongkrit Mazhab Imam besar umat Islam seperti Abu Hanafiah bin Nu’umah bin Tsabit Al-Taimi Al-Kuhfi (Imam Hanafi), Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Amr bin Al-Harrits (Imam Malik), Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Imam Syafi,i), Ahmad bin Hambal (Imam Hambali), Mazhab politik kabupaten bima ini kalau di pahami secara psikologi penulis menginginkan satu bentuk struktural yang ideal dalam masyarakat Bima sehingga entitas akan selalu terjaga bukan karena sekedar kultural tapi lebih jauh yaitu soal kemanusiaan yang punya cara pandang ideologis. Poin-poin di bawah ini yang coba ditawarkan sebagai substansi dari Mazhab Politik Bima:


1. 1. Politik tidak lebih penting dari rasa kemanusiaan;

2. 2. Basis ekonomi rakyat berkelanjutan;

3. 3. Kulturasi budaya berdasarkan basis materilnya;

4. 4. Futurasi politik yang tidak terpisah dengan kepentingan masyarakat;

5. 5. Tradisi kritik harus di kembangkan;

6. 6. Pemimpin yang memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan;

7. 7. Semua warga (masyarakat) memiliki akses yang sama;

8. 8. Menghargai manusia tanpa memandang golongan;

9.  9. Egalitarian sebagai ukuran.


Poin diatas penulis menyadari tidak cukup memberikan urainya singkat tapi perlu menjelas secara eksplisit seperti halnya sebuah konsep panduan atau falsafah yang memiliki konotasi-konotasi, tapi karena tulisan ini memerlukan perdebatan dan mendiskusikan yang meluas dari kalangan pecinta literasi,aktivis Bima dan akademis, lebih tepatnya tulisan baiknya menjadikan sebuah buku dengan poin-poin diatas menjadi bab-babnya.


Mazhab politik kabupaten bima sebagai seri dua (2) dari tulisan yang berjudul Kabupaten Bima Butuh Pemimpin Alternatif .


Penulis belum bisa memberikan kesimpulan terlalu dini secara ideal terhadap gagasan besar ini tapi hanya mampu memberikan premis-premis yang bisa di tarik kesimpulan oleh pembaca sendiri, karena pada dasarnya tulisan ini mencari lingkaran besar untuk berdiskusi lebih lanjut.*


“Politik harus di pimpin oleh ‘yang benar’ bukan yang legitimet” PLATO.

×
Berita Terbaru Update