![]() |
Opini: Ajeng Dewi Sutisna Putri
Narasi Indonesia.com, Jakarta- Dalam beberapa dekade
terakhir, kesetaraan gender menjadi salah satu agenda penting dalam politik
global. Namun di banyak negara, termasuk Indonesia, politik masih menjadi arena
yang timpang gender. Perempuan masih menghadapi banyak hambatan untuk dapat
bersaing setara dengan laki–laki dalam mendapatkan posisi strategis.. pemilu
demi pemilu menunjukan bahwa meskipun kuota 30 persen keterwakilan perempuan
sudah lama diupayakan, kenyataannya angka itu jarang tercapai. Ini bukan semata
masalah representasi formal, tetapi juga cerminan struktur sosial yang masih
patriarkal.
Kuota Tak Cukup Mengubah Sistem
Keterbatasan akses Perempuan dalam politik bukanlah
perkara baru. Menurut laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tahun 2019,
keterwakilan perempuan di DPR RI hanya mencapai 20,5 persen. Banyak perempuan
terhalang oleh berbagai faktor: dari beban ganda dalam rumah tangga, minimnya
dukungan partai politik, hingga stereotip bahwa kepemimpinan adalah domain
laki-laki. Padahal, partisipasi perempuan tak hanya penting dari sisi keadilan,
tetapi juga menentukan kualitas kebijakan publik.
Suara Perempuan, Perspektif yang Terabaikan
Perempuan yang berhasil menembus dinding politik
terbukti membawa perspektif yang berbeda. Mereka cenderung memperjuangkan
isu-isu sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak isu yang
kerap dipinggirkan. Tokoh seperti Angela Merkel atau Jacinda Ardern menunjukan
gaya kepemimpinan berbasis empati dan inklusi bisa berhasil. Namun,
keberhasilan segelintir tokoh tidak cukup membalik ketimpangan sistemik yang masih
berlangsung dibanyak negara.
Kapitalisme dan Subordinasi Perempuan
Untuk memahami mengapa perempuan sulit menembus
kekuasaan, kita bisa merujuk pada pemikiran Karl Marx dan Engels. Dalam The
Origin of the Family, Private Property, and the State, Engels menjelaskan bahwa
subordinasi perempuan dimulai sejak munculnya kepemilikan pribadi dan struktur
keluarga patriarkal. Perempuan dijauhkan dari ranah publik dan dipaksa tinggal
dalam ruang domestik. Struktur ini bertahan dalam kapitalisme modern, di mana
kerja domestik perempuan tetap tak dihargai secara ekonomi.
Eksploitasi Ganda: Kerja dan Reproduksi
Feminisme Marxis menyoroti bagaimana perempuan
mengalami eksploitasi ganda: sebagai buruh di luar rumah dan pekerja tak
dibayar di dalam rumah. Silvia Federici misalnya, mengkritik bagaimana
kapitalisme bertahan dengan mengeksploitasi kerja reproduktif perempuan. Dalam
konteks politik, sistem ini menciptakan hambatan struktural—minimnya fasilitas
sosial seperti penitipan anak dan cuti yang setara—yang membuat perempuan
kesulitan bersaing di arena politik.
Representasi Tanpa Kuasa Nyata
Partisipasi politik perempuan sering kali bersifat
simbolik. Mereka dijadikan "pemanis" citra partai, tapi jarang diberi
ruang untuk membuat keputusan besar. Lebih parah lagi, perempuan dipaksa
menyesuaikan diri dengan gaya politik laki-laki: hierarkis, agresif, dan penuh
dominasi. Ini bukan bentuk demokrasi sejati. Jika kita ingin politik yang adil,
maka pendekatannya harus berubah menjadi lebih partisipatif dan egaliter,
sebagaimana dicita-citakan oleh para pemikir feminisme struktural.
Butuh Reformasi Sistemik, Bukan Sekadar Simbolik
Perubahan tidak bisa hanya bergantung pada individu.
Negara dan partai politik harus membangun sistem yang mendukung keterlibatan
perempuan. Ini bisa dimulai dari pendidikan politik berbasis gender, regulasi
internal partai yang adil, serta penyediaan infrastruktur sosial. Seperti
ditulis Shirin M. Rai, kesetaraan dalam politik harus dipahami sebagai jalan
menuju demokrasi yang lebih inklusif, bukan hanya soal perhitungan angka kursi.
Meredefinisi Kekuasaan dan Demokrasi
Kesetaraan gender dalam politik bukan semata soal
jumlah perempuan di parlemen. Ini adalah upaya meredefinisi makna
kekuasaan—dari dominasi menjadi partisipasi. Dengan perspektif seperti
feminisme Marxis, kita bisa melihat bahwa ketimpangan gender bukan kebetulan,
tapi hasil dari sistem yang saling menguatkan antara kapitalisme dan patriarki.
Maka, perjuangan perempuan dalam politik adalah bagian penting dari upaya
menciptakan demokrasi yang lebih adil dan manusiawi.