![]() |
Penulis: Budiman, Mahasiswa S2 PGSD Universitas Negeri Yogyakarta |
Narasi Indonesia.com, Yogyakarta- Tahun 2025 pemerintah
Prabowo Subianto mengambil langkah atau kebijakan untuk melakukan efisiensi
anggaran negara. Efisiensi yang diambil bertujuan untuk mengurangi anggaran
dari beberapa instansi maupun program-program yang ada.
Kebijakan ini termuat dalam Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 1 Tahun 2025 tentang kebijakan efisiensi anggaran pemerintah Indonesia,
yang mengarahkan penghematan belanja dalam pelaksanaan APBN maupun APBD.
Melalui instruksi tersebut, Presiden Prabowo Subianto meminta pemerintah pusat
maupun daerah untuk menekan pengeluaran hingga mencapai Rp306,7 triliun.
Akibatnya, hampir semua sektor terkena dampak oleh kepijakan
tersebu. Seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur sosial, hingga program
pemberdayaan masyarakat. Bahkan masyarakat diminta untuk hemat dan berlapang
dada menerima kenyataan bahwa pelayanan publik akan dikurangi, fasilitas akan
dipangkas, bahkan program-program yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari
harus ditunda pelaksanaannya.
Akan tetapi, dibalik dari kebijakan yang diambil yaitu
pemangkasan anggaran hampir disemua sektor. Masyarakat justru dikagetkan dengan
kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR. Hal ini disampaikan oleh Komisi I DPR
TB Hasanudin, yang mengatakan bahwa anggota dewan bisa mendapat pendapatan 100
Juta per bulan secara bersih. Kenaikan yang terjadi karena DPR saat ini
mendapatkan tunjangan rumah.
“Tidak dapat rumah. Dapat rumah itu tambah Rp50 juta. Jadi,
take home pay itu lebih dari Rp100” Ucap Hasanudin di senayan Jakarta, Selasa
(12/08/2025).
Tidak hanya itu, tunjangan lain juga ikut naik. Seperti
tunjungan beras dari 10 Juta menjadi 12 Juta, tunjangan bensi 4-5 Juta menjadi
7 Juta. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Adies Kadir di Parlemen,
Jakarta rabu (20/08/2025).
Padahal berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor
S-37/MK.02/2025. Pemangkasan atau efisiensi dilakukan terhadap 16 Pos belanja,
salah satunya perjalanan dinas dan sewa kendaraan. Hal ini menjadi bertolak
belakang dari kebijakan efisiensi anggaran.
Sehingga, DPR yang seharusnya menjadi cermin solidaritas
terhadap rakyat malah menambah fasilitas dan penghasilan. Ironis ketika
masyarakat diminta berhemat sementara DPR justru berlimpah. Hal ini tidak boleh
dianggap sepele. Ini bukan hanya masalah teknis semata, tetapi persoalan
moralitas politik dan keadilan sosial. Agar bangsa ini tetap kokoh, efisiensi
tidak boleh hanya dibebankan kepada rakyat kecil, melainkan harus menjadi
tanggung jawab bersama, terutama para elite politik. Jika DPR benar-benar wakil
rakyat, sudah seharusnya mereka berdiri di garis depan untuk menunjukkan
solidaritas dan kesediaan berhemat bersama rakyat.
Penulis:
"Budiman"
Editor:
(m/NI)