Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Negara Takut Sejarah: Saat Menteri Kebudayaan Jadi Mesin Sensor Kekuasaan

Rabu, 18 Juni 2025 | Juni 18, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-18T13:09:01Z


Narasi Indonesia.com, Jakarta - Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam PB HMI menyoroti kebijakan Menteri Kebudayaan yang melakukan penghapusan sejarah kelam atas identitas kebangsaan, pada Rabu (18/6/2025).


Muhardi selaku Direktur Eksekutif Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam PB HMI mengungkapkan bahwa Kebijakan Penghapusan atau pengurangan porsi sejarah dalam kurikulum pendidikan adalah suatu bentuk penghianatan inteleltual terhadap jati diri dan identitas bangsa.  Ketika menteri Kebudayaan melakukan penghapusan fakta sejarah maka secara tidak langsung mereka telah mengikis pondasi kebangsaan dalam ingatan generasi muda. Ini bukan hanya soal kelalaian, namun suatu bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab sejarah yang fatal.


Lebih lanjut, Sejarah bukan soal deretan angka dan peristiwa, tapi ia adalah warisan masa lalu, ingatan, pelajaran kolektif dan cerminan arah pijakan untuk masa yang akan datang. Ketika sejarah dimarjinalkan maka secara tidak langsung telah membuat generasi muda tumbuh dengan kekosongan akan makna, terputusnya api semangat juang dan nilai-nilai kemanusiaan yang telah diwariskan oleh para pendahulu bangsa. 


"Menghapus sejarah dengan alasan penyederhanaan kurikulum dan penghapusan sejara sesuai selera kekuasaan adalah retorika yang menyesatkan generasi. Hal ini sama halnya membongkar pondasi sebuah rumah yang kokoh untuk mempercantik atapnya. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jejak sejarah, bukan malah melupakan bahkan menghapus fakta untuk kepentingan kebijakan pragmatis yang tidak visioner," terang Muhardi.


Sejarah, terutama yang kelam, bukan untuk disimpan di ruang gelap arsip negara. Ia harus dihadirkan, dibicarakan, dan diajarkan kepada setiap generasi. Karena hanya dengan mengakui luka, bangsa ini bisa belajar dan bertumbuh. Jika pemerintah, dalam hal ini Menteri Kebudayaan tidak mampu menghadapinya, maka mereka gagal menjalankan mandat konstitusi dan moral sebagai penjaga memori kolektif rakyat dalam sejarah.


Menteri Kebudayaan hari ini tidak sedang menulis sejarah. Ia sedang menghapusnya. Penghilangan jejak kekejaman negara seperti pemerkosaan massal tahun 1998, pembantaian 1965, penghilangan paksa aktivis, dan seluruh lembaran kelam yang menjadi saksi bisu luka rakyat, semuanya sedang disapu bersih, dipoles dengan cat putih bernama "STABILITAS NASIONAL", demi satu hal, menyelamatkan wajah kekuasaan. Jangan biarkan negeri ini kehilangan ingatannya. Sebab bangsa yang lupa sejarahnya, akan dikendalikan oleh mereka yang menulis ulang sejarah dengan tinta kekuasaan dan darah korban yang dibungkam.


Kami  dari Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pendidikan PB HMI menolak hidup dan tumbuh dalam dunia bayang-bayang yang dibentuk oleh narasi sepihak kekuasaan. Kami tidak ingin menjadi generasi yang tumbuh tanpa tahu bahwa ada sejarah perempuan yang diperkosa karena rasnya, bahwa ada aktivis dihilangkan/dimatikan karena idealismenya, dan kami menegaskan bahwa sejarah kita dibentuk oleh darah, air mata, dan perlawanan, bukan hanya soal pembangunan dan pidato belaka.


"Kami menolak keras setiap upaya sistematis untuk menghapus peristiwa sejarah yang menyimpan penderitaan rakyat. Sejarah bukan milik penguasa hari ini, sejarah adalah milik bangsa, milik korban, milik generasi yang berhak mengetahui dari mana luka ini berasal, agar tidak diwariskan dalam bentuk yang lebih halus dan licik," tegasnya.


Kepada Menteri Kebudayaan, Anda tidak diberi mandat untuk menyeleksi sejarah sesuai selera kekuasaan. Anda diberi amanah untuk menjaga keberanian bangsa ini menatap cermin masa lalunya, betapapun retak dan berdarahnya. Jika Anda tidak sanggup melakukannya, maka lebih terhormat untuk mundur, tutupnya.


(m/NI)

×
Berita Terbaru Update