Oleh. Anjasmara
Narasi Indonesia.com,
Yogyakarta- Akhir-akhir ini, media sosial banyak mempersembahkan public dengan
“politik asyik, menghibur dan santai” hal ini disebutkan sebagai komunikasi
politik versi “anak muda”. Pada substansinya metode ini menunjukan
leader melarat akan gagasan dan menggeser sikap kritis di dalam “tong sampah”.
Praktik politik tersebut pinjam istilah Nurul hasfi politainment (Artikel
Nurul Hasfi: Pemilih Muda dan Buaian “Politainment”. 7 Desember 2023).
Gaya politik ini memperluas
kebodohan terhadap public pada nilai politik rasional. Hal tersebut cukup
mengagetkan, karena actor yang melakukan praktik politik model ini yaitu pemuda
sendiri. David Shultz (2012), seorang peneliti politik dan media di Amerika
Serikat, mendefinisikan politainment sebagai strategi komunikasi politik
kontemporer yang mengintegrasiakan politik dengan entertainment. Bukan hanya seorang politikus sebagai bakal
calon yang membranding atau memasarkan dirinya dengan kepopularitasanya lewat
media sosial, dengan memanfaatkan anak muda sebagai tim eksekutor penguasa
media untuk calon pemimpinnya.
Pemuda yang menjadi
lambang kerasionalitasan dalam memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip
politik rasional, sebaliknya mereka yang menjadi peran utama dalam merekayasan
skema politik simbolis yang kering akan gagasan, pembodohan, pada public. Marketing
politik dilakukan anak muda untuk menarik keingintahuan public terhadap calon
pemimpin dengan membuat kekurangan mereka menjadi lebih dasyat, seperti jiwa
sosial tinggi, beradab, dan visioner, bahkan anak muda sendiri yang melakukan
penyuluhan kelebihannya dengan mendesain kebohongan pada masyarakat.
“Memanfaatkan
media, anak muda membalut politikus dengan adab sosial tinggi, ketenaran dan
kebaikanya”
Polintainmet dilakukan
anak muda yaitu, seperti gimik politik yang dilakukan oleh politik Prabowo
Subianto, dengan menunjukan “Joget gemoy” dan disalah satu acara Tv, Maste
rChef Indonesia, menghadirkan Ganjar
Pranowo di momen grand final. Politik blusukan yang dilakukan oleh
setiap paslon-paslon politik dalam mengaet suara rakyat cukup efektif dan hal
ini cukup nyata bagaimana mereka hanya mempertontonkan selebritisnya dan tentu
anak-anak muda menyukai trent politik tersebut, apalagi generasi-generasi Z
yang termakan oleh kecanggihan media sangat sulit untuk memfilternya, bahkan
mereka sendiri yang tergoda oleh gimik politik pembodohan tersebut, sehingga
keikutsertaan mereka membuka peluang kemenangan bagi politikus.
Artikel ilmiah berjudul “Politainment as Dance: Visual Story Telling on TikTok among Spanish Political Parties” yang ditulis Rocío Zamora-Medina (2023) menunjukkan gimik politik tarian juga terjadi di Spanyol. Studinya menemukan, partai politik di Spanyol melakukan komunikasi politik dengan menggunakan visual story telling, terutama video tarian.
Faktanya juga terjadi di Indonesia selain dengan marketing
politik “tarianya” juga melakukan blusukan di setiap perkampungan, melebarkan
senyum, menggendong anak, dan tidak takut kotor oleh genangan air dijalan
perkampungan. Sangat membingungkan ? setelah melakukan hal tersebut, pemuda
yang rakus akan material dan kedudukan strategis menyuguhkan perihal tersebut
dengan positif dalam Masyarakat. Cukup miris dan humor melihat Langkah politik
anak muda dengan memanfaatkan media elektronik untuk membodoh-bodohin
Masyarakat.
Fenomena diatas pinjam
istilah Jean baudrillah “hiperealitas” terlalu menunjukan kebohongan
dengan simbolitas. Humor politik anak muda semacam ini harus dinamatkan sebagai
“kebohongan kucing”. Kebohongan ini telah memproduksi calon pemimpin yang
malas, dan otak uang, lagi-lagi anak muda menggunakan media elektronik sebagai
platform politik bagi penguasa dengan menjual diri mereka, sedang pembagian
bantuan. Srategi ini akan memperparah masa depan Indonesia termaksud anak muda
tersendiri sebagai pewaris peradaban.
Penutup, pilpres tahun 2024 menjadi Pelajaran besar bagi seluruh Masyarakat Indonesia, utamanya anak muda, kedepan ini kita sebentar lagi diperhadapkan dengan pilkada serentak, tentu ini menjadi peluang bagi anak muda, karena menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mendominasi daftar pemilihan tetap (DPT) pilpres 2024 kemarin yaitu berjumlah 113 juta atau 56,45 persen dari total pemilihan tetap. Maksudnya anak muda menjadi penentu arah politik dan masa depan Indonesia dengan presentase suara pemilihan 55 persen.
Kita harus lebih bijak lagi mengambil Langkah
berpolitik karena setiap tim sukses bakal calon nanti menargetkan anak muda
untuk dieksploitasi dengan memanfaatkan mereka untuk memegangkan media sosial
dalam berpolitik, sehingga stigma sosial pada umumnya pemuda bukan lagi
representasi akan tetapi menjadi pembunuh Masyarakat.
Dengan menggunakan narasi
rayuan seperti politik anak muda, politik menyenangkan, politik santai, dan
semacamnya, tim sukses capres mengajak anak muda berpartisipasi dalam politik.
Namun, apakah narasi ajakan itu benar-benar tulus untuk mendidik perilaku
demokrasi yang sehat dan etis (Nurul Hasfi, 2023; harian Compas).
Harapannya anak muda harus mulai berpikir
bijak dan menghilangkan dulu sikap praktisnya, mari menjadikan kontestasi
pilkada kedepannya menjadi politik yang mengedepankan asas demokrasi yang
memanfaatkan media untuk menyuguhkan politik asyik dan santai secara rasional
dan jujur, bukan membalut media dengan keuntungan politikus.
(m/NI)