![]() |
Narasi Indonesia.com, JAKARTA-Hingga 31 Mei 2024, perdagangan karbon di Indonesia hanya mencatatkan valuasi sebesar Rp 36,77 miliar dan total volume 608.427 ton CO2e sejak diluncurkan pada September 2023. Angka tersebut masih jauh dari visi pemerintah yang memproyeksikan potensi perdagangan karbon bisa mencapai Rp 3.000 triliun, pada Sabtu (15/6/2024).
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif ICTR, Opu Pangeran, menilai pemerintah perlu aktif menggiring kesukarelaan perusahaan melalui sosialisasi keuntungan perdagangan karbon. "Perusahaan yang menghasilkan emisi karbon perlu dijemput bola oleh pemerintah dengan sosialisasi keuntungan berdagang karbon, misalnya dengan pembebasan dari pajak karbon jika membeli karbon dari perusahaan yang terdaftar di SRN PPI milik KLHK," ujarnya.
Konsep pajak karbon, menurut Opu, adalah pemerintah akan menetapkan batas emisi yang harus dipenuhi industri. "Jika perusahaan tidak mampu menurunkan emisi karbon dengan membeli kredit di pasar sekunder (bursa karbon), sisa emisi tersebut harus dibayarkan dalam bentuk pajak karbon," ucapnya.
Dalam menyambut itikad baik pemerintah yang menunda pajak karbon bagi perusahaan yang menghasilkan emisi karbon, Opu menilai perusahaan harus memiliki kesadaran untuk membeli kredit karbon. "Perusahaan yang menghasilkan emisi karbon seharusnya menandatangani kerjasama dengan perusahaan penyedia kredit karbon untuk langsung membeli karbon guna mengurangi batas atas emisi karbon," ungkap Opu.
Sepinya pasar karbon diduga karena faktor sukarela yang belum terikat oleh kewajiban pajak karbon menurut Opu. "Jika sosialisasi tidak berjalan efektif, maka pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan kembali pajak karbon sebagai opsi mengikat bagi pelaksanaan perdagangan karbon ini," jelas Opu.
ICTR menilai bahwa perdagangan karbon tidak hanya menguntungkan penyedia jasa perdagangan karbon yang memiliki SRN PPI dan lahan tanam, tetapi juga menguntungkan Negara melalui pencapaian komitmen Indonesia atau Nationally Determined Contributions (NDC).
Sebagai penutup, Opu Pangeran menekankan pembelian bursa karbon tidak semata untuk membebaskan tanggung jawab pelaku usaha yang menghasilkan emisi karbon, tetapi sebagai rasa terima kasih kepada Negara. "Perusahaan yang diberikan izin beroperasi di Indonesia baik perusahaan dalam negeri maupun asing sudah sepantasnya ikut berkomitmen dalam NDC Indonesia sebagai balas budi atas pengolahan hasil kekayaan alam Indonesia," tegas Opu.*
(m/NI)