![]() |
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM) |
Pancasila sejatinya sudah lama ada dan melekat dalam bangsa Indonesia. Nilai tersebut seperti nilai percaya akan adanya Tuhan, gotong royong dan musyawarah. Nilai-nilai tersebut sudah lama ada bahkan dimulai pada masa pra sejarah di Indonesia. Kemudian dilanjutkan pada masa kerajaan, zaman penjajahan, era kebangkitan nasional sampai saat sekarang ini. Nilai-nilai tersebut digali dari bangsa Indonesia dan dirumuskan oleh para pendiri Negara yang tergabung dalam sidang BPUPKI dan ditetapkan melalui PPKI sebagai dasar Negara Indonesia. Karena berasal dari dalam kehidupan masyarakat Indonesia sendiri maka disebut sebagai nilai kausa materialis.
Nilai-nilai tersebut merupakan fakta sejarah yang dijadikan dasar bagi pengembangan pendidikan Pancasila, baik menyangkut formulasi tujuan, pengembangan materi, rancangan model pembelajaran, dan evaluasinya. Dengan mencermati sejarah atau historis inilah sudah sepatutnya perlu kiranya adanya sebuah pendidikan yang dapat membekali generasi pendidikan atau pelajar agar sadar mengenai dasar negaranya dan dapat berperilaku sesuai pedoman nilai-nilai Pancasila melalui perantara dunia pendidikan.
Bangsa dan negara pasti memiliki sejarah dan riwayat perjalanan hidup yang membentuk eksistensi negara dan warganya, termasuk Indonesia yang telah mengalami kehidupan berbangsa dan bernegara dengan penuh suka dan duka. Pada setiap tahapan kehidupan selalu diperlukan kesetiaan dari warga negara (Winataputra & Saripudin, 2011:2). Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai tantangan untuk menjadi sebuah negara yang diakui oleh dunia. Kolonialisme yang menyebabkan bangsa Indonesia menjadi bodoh, hina, dan miskin. Penjajahan telah memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia tentang arti penting demokrasi, ilmu dan teknologi, serta ekonomi.
Upaya menyatukan wilayah nusantara dimulai sejak zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7) dan Kerajaan Majapahit (abad XIII). Upaya ini belum berhasil karena belum ada pemahaman baru tentang konsep negara kesatuan (modern). Adanya pemahaman baru tentang negara kesatuan pada tahun 1908 telah melahirkan gerakan Kebangkitan Nasional oleh Budi Utomo sebagai perintis sekaligus pemersatu semua warga yang mendiami kepulauan nusantara.
Keberhasilan gerakan ini memunculkan sikap pemuda Indonesia yang gagah berani dengan tegas mengikrarkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 (Ristekdikti, 2016:14). Sumpah Pemuda mencerminkan wawasan geografi (tanah air), wawasan kebangsaan (bangsa), wawasan budaya (bahasa) yang menjadi awal tumbuhnya wawasan kebangsaan Indonesia. Keberanian pemuda Indonesia yang berjuang dengan penuh semangat ini pada akhirnya berhasil membawa bangsa Indonesia pada kemerdekaan, dengan memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan secara resmi diajarkan di Indonesia pada tahun 1957 setelah Indonesia merdeka, yang dikenal dengan istilah Kewarganegaraan.
Tujuan pengajaran Kewarganegaraan yaitu untuk menyatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, etnis, agama, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Tahun 1962 Kewarganegaraan diganti dengan civics, selanjutnya pada tahun 1968 diganti lagi menjadi Pendidikan Kewargaan Negara atas usul Prof. Dr. Sahardjo, S.H. sesuai dengan Pasal 26 UUD NRI 1945 (Darmadi, 2010:3). Kewarganegaraan yang diganti dengan civics menyebabkan materi muatannya juga berubah, yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, Tap MPRS, PBB yang ditambah dengan Orde Baru, sejarah Indonesia dan Ilmu Bumi berdasarkan Instruksi Mendikbud/Dirjendikdas No.31/tgl.28 Juni 1967. Civics dalam Kurikulum 1968 diganti dengan Pendidikan Kewargaan Negara.
Kurikulum tahun 1975 mengubah istilah Pendidikan Kewargaan Negara menjadi Pendidikan Moral Pancasila. Kurikulum tahun 1994 mengubah istilah Pendidikan Moral Pancasila menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang pada akhirnya Kurikulum tahun 2006 mengubah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.
Paradigma pendidikan yang dianut pada masa Orde Baru yaitu pendidikan untuk pembangunan. Pendidikan yang dijelaskan Muchson sebagaimana dikutip oleh (Jamalong, Sukino, & Sulha, 2019:27) telah diposisikan sedemikian rupa sebagai instrumen pembangunan. Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai misi untuk mewujudkan sikap toleransi, tenggang rasa, memelihara persatuan dan kesatuan, tidak memaksakan pendapat yang dirasionalkan demi terciptanya stabilitas nasional sebagai prasarat bagi kelangsungan pembangunan. Kenyataan dalam praktik ternyata tidak sesuai dengan konsep yang ditawarkan, Pendidikan Kewarganegaraan justru menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Permasalahan tersebut sering dialami oleh sejumlah negara, terutama negara berkembang. Kepentingan politik penguasa melalui Pendidikan Kewarganegaraan terlihat dari adanya sejarah perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia.*
Penulis
Yusuf, S.Pd (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang)
Editor
Monta/NI