![]() |
Narasi Indonesia.com, Jakarta - Di Ponorogo, mitos politik memiliki daya hidup yang panjang. Sejak era reformasi, beredar keyakinan bahwa “tak ada bupati yang mampu dua periode penuh di Bumi Reyog.” Mitos itu hidup di warung kopi, di balai desa, bahkan di ruang-ruang diskusi politik. Ia bukan sekadar kepercayaan kolektif tanpa dasar, melainkan refleksi bawah sadar masyarakat terhadap kekuasaan yang tak pernah benar-benar tuntas: selalu retak di tengah jalan, tumbang karena konflik elite, atau runtuh oleh krisis moral.
Namun, seperti semua mitos dalam politik, ia tak pernah berdiri di ruang hampa. Ia tumbuh dari pengalaman empiris yang berulang, sebuah pola disfungsional kekuasaan lokal, di mana struktur pemerintahan belum sepenuhnya dewasa secara kelembagaan, dan moral kekuasaan sering kalah oleh logika pragmatisme elektoral.
Sejarah mencatat hanya satu nama yang berhasil mematahkan kutukan itu. M. Markum Singodimedjo, bupati dua periode (1994–2004). Setelahnya, tiga bupati berikutnya, Muhadi Suyono (2005–2010), Amin (2010–2015), dan Ipong Muchlissoni (2016–2021). Semuanya gagal menembus dua periode. Kekalahan mereka punya pola serupa. Melemahnya koalisi, ketidakmampuan menjaga legitimasi publik, dan kegagalan menumbuhkan kepercayaan politik jangka panjang. Maka, ketika Sugiri Sancoko memenangkan kembali Pilkada 2024, publik Ponorogo bersorak “mitos itu akhirnya pecah.” Tapi sejarah memiliki ironi tersendiri.
Pada 7 November 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Sugiri Sancoko. Operasi ini menjerat belasan pejabat Pemkab Ponorogo, dengan dugaan suap dan jual beli jabatan. KPK menyita uang tunai, memeriksa sejumlah saksi, dan menyebutkan bahwa proses rotasi ASN di Ponorogo sarat dengan transaksi ilegal. Fakta hukum ini mengguncang fondasi simbolik yang selama ini dibangun: bupati yang dielu-elukan sebagai “pemecah mitos” justru terjebak dalam jerat yang membenarkan kembali mitos itu sendiri.
Secara yuridis, tindakan KPK berlandaskan Pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang memberi wewenang supervisi dan penindakan terhadap penyelenggara negara tingkat tinggi, termasuk kepala daerah. Dalam logika hukum tata negara, posisi kepala daerah bukanlah raja kecil yang kebal dari pengawasan, melainkan bagian dari sistem desentralisasi yang tunduk pada prinsip checks and balances. Karena itu, OTT bukan sekadar peristiwa hukum, tetapi juga mekanisme korektif terhadap penyimpangan dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Dari sisi politik lokal, kasus ini memperlihatkan krisis rasionalitas kekuasaan. Ponorogo gagal membangun kultur politik yang sehat, di mana jabatan publik seharusnya diisi oleh meritokrasi, bukan patronase. Jual beli jabatan adalah gejala klasik dari oligarki daerah: kekuasaan digunakan sebagai instrumen tukar-menukar kepentingan, bukan alat melayani rakyat. Dalam konteks itu, mitos bupati dua periode sebenarnya menjadi cermin kesadaran publik bahwa kekuasaan yang lahir dari transaksi pasti berakhir dengan disfungsi moral.
Di sinilah logikamistika Tan Malaka menemukan relevansinya. Dalam Madilog, singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Tan menolak cara berpikir mistis yang menggantungkan nasib pada takdir. Ia menegaskan bahwa kepercayaan hanya bisa dipecahkan oleh rasionalitas dan pengalaman objektif. Jika mitos dua periode dianggap kutukan, maka logika Tan Malaka akan berkata: “Bukan kutukan yang bekerja, melainkan hukum sebab-akibat dari sistem kekuasaan yang korup dan tidak rasional” OTT KPK terhadap bupati dua periode itu menjadi pembuktian material atas hukum logika sosial-politik yang dirumuskan Tan hampir seabad lalu: bahwa kekuasaan tanpa moral dan kesadaran akan selalu menuju kehancuran.
Dengan demikian, mitos dua periode di Ponorogo tak perlu dibaca sebagai takdir metafisis, melainkan sebagai gejala empiris dari kegagalan institusionalisasi etika kekuasaan. Ia bukan produk klenik, tetapi hasil dari logika politik yang terdistorsi. Dalam terminologi Tan Malaka, inilah “mistika kekuasaan” yang menutupi nalar rakyat. Ketika akal sehat dan hukum dikesampingkan, masyarakat pun menciptakan simbol-simbol mistis untuk menjelaskan apa yang sebenarnya bisa dijelaskan secara logis. bahwa kekuasaan yang tak rasional akan menciptakan nasib yang tampak irasional.
Kasus OTT KPK terhadap Bupati Ponorogo menegaskan bahwa logika hukum dan logika sosial akhirnya bertemu di satu titik. Rakyat tak bisa terus menerus menafsirkan kegagalan pemimpin sebagai mitos, sementara hukum menunjukkan bahwa ia adalah akibat dari kesalahan yang konkret. Dengan begitu, peristiwa ini bukan hanya soal moral individu, tetapi juga cermin dari sistem politik lokal yang rapuh, yang belum selesai membedakan antara kekuasaan sebagai amanah dan kekuasaan sebagai kepemilikan.
Kini, Bumi Reyog sekali lagi menatap sejarahnya sendiri. Mungkin benar, mitos dua periode tidak pernah hilang, tapi bukan karena ia kutukan gaib. Ia bertahan karena akal politik Ponorogo belum benar-benar merdeka dari mistika kekuasaan. Dan selama logika hukum dan moral publik belum berdaulat, mitos itu akan terus hidup menjadi cermin pahit bagi siapa pun yang berani berkuasa tanpa kebijaksanaan.*
Penulis:
Achyat Daroini, S.H (Penulis Merupakan Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Periode 2024-2026 yang sedang Menempuh Pendidikan Magister Hukum di Universitas Indonesia)
Editor:
(m/NI)
