![]() |
Narasi Indonesia.com, Jakarta - Kasus dugaan penyuapan jabatan yang menjerat Bupati Ponorogo dan 3 tersangka lainnya. menjadi tamparan keras bagi wajah pemerintahan daerah. Di tengah harapan masyarakat terhadap kepemimpinan yang bersih dan berpihak pada rakyat, kabar bahwa jabatan bisa “dibeli” dengan uang membuat publik kecewa dan marah. Bagaimana mungkin jabatan yang seharusnya diemban oleh mereka yang berintegritas dan berkompeten, justru menjadi komoditas transaksi?
Penyuapan jabatan bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan dan kepercayaan publik. Ketika posisi birokrasi diberikan kepada mereka yang mampu membayar, bukan kepada yang layak dan pantas, maka dipastikan masyarakat menjadi korbanya. Aparatur yang seharusnya melayani masyarakat malah sibuk mencari “balik modal” dari jabatan yang diperoleh secara tidak sah. Akibatnya, masyarakat Ponorogo terutama kelompok rentan seperti lansia, petani kecil, dan warga miskin akan menjadi korban dari sistem yang rusak ini.
Masyarakat kini harus ikut andil dalam pengawasan transparansi dan integritas pemerintahan. Dengan adanya kasus ini menunjukkan bahwa pengawasan internal pemerintah belum berjalan optimal. Mekanisme promosi dan mutasi jabatan harus dibuka secara terang-terangan, agar publik bisa ikut menilai siapa yang layak menduduki posisi tertentu. Pemerintahan yang baik bukanlah yang menutupi aibnya, tetapi yang berani memperbaikinya.
Penangkapan oleh KPK memang memberikan sinyal bahwa hukum masih bekerja. Namun, keadilan tidak berhenti pada meja hijau. Efek jera baru akan muncul bila sistem diperbaiki, bukan hanya orangnya yang diganti. Ponorogo membutuhkan reformasi birokrasi yang berlandaskan pada merit, transparansi, dan integritas bukan relasi atau kekuasaan uang.
Kini, masyarakat Ponorogo harus berani bersuara secara lantang. Tidak cukup hanya menonton berita dan mengeluh di media sosial. Warga ponorogo harus ikut andil dalam mengawasi kerja pemerintahan di daerah ponorogo dari tingkat desa sampai kabupaten. Karena masih banyak pontensi adanya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi selanjutnya. Dan juga pembatalan dan atau pengevaluasian kembali atas 138 penjabat publik dan Perusahaan umum daerah yang sudah di angkat harus segera dilakukan secepat-cepatnya.
Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran pahit, namun juga titik balik. Dari tanah yang dikenal dengan kesenian Reyog sebagai simbol keberanian dan keteguhan Ponorogo bisa bangkit menjadi contoh daerah yang berani menolak korupsi dan menegakkan pemerintahan bersih. Karena jabatan bukanlah barang dagangan, melainkan amanah yang suci untuk mengabdi kepada rakyat.
Penulis :
Rivaldi Ramadhani G (Kepala bidang Partisipasi Pembangunan Daerah Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ponorogo)
Editor:
(m/NI)
