Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dari Ladang Jagung ke Bencana Alam: Kerusakan Hutan di Kota dan Kabupaten Bima Mengancam Lingkungan dan Kehidupan

Senin, 10 November 2025 | November 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-11T02:07:09Z


 

Dok. Muamar Kadafi, S.P,. ,M.P. Kaprodi Pertanian Berkelanjutan Universitas Teknologi Sumbawa 

Narasi Indonesia.com, Sumbawa- Kerusakan hutan di wilayah Kota dan Kabupaten Bima kini mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Hutan yang dahulu menjadi benteng ekologis dan sumber kehidupan bagi masyarakat, kini berubah menjadi lahan pertanian jagung yang gersang dan rawan bencana. Pergeseran fungsi hutan yang berlangsung cepat, disertai lemahnya pengawasan dan rendahnya kesadaran lingkungan, telah membawa dampak besar terhadap sistem alam, sosial, dan ekonomi di wilayah ini. Sebagai daerah yang sebagian besar wilayahnya bergunung dan berbukit, Bima sangat bergantung pada keberadaan hutan untuk menjaga keseimbangan air dan kesuburan tanah. Ketika hutan mulai hilang, keseimbangan itu pun ikut terganggu. Hujan yang seharusnya menjadi berkah kini sering berubah menjadi ancaman, sementara musim kemarau yang dulu bisa diantisipasi kini menimbulkan kekeringan panjang. Semua ini menunjukkan bahwa persoalan kerusakan hutan bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi telah menjadi masalah kehidupan.


Alih Fungsi Hutan dan Dampak Ekologisnya

Perubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian, khususnya untuk komoditas jagung, telah berlangsung secara masif dalam satu dekade terakhir. Hampir di setiap kecamatan di Kota dan Kabupaten Bima, lereng-lereng bukit yang dulunya hijau kini terbuka lebar tanpa vegetasi pelindung. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian beranggapan bahwa menanam jagung di lahan hutan adalah solusi cepat untuk meningkatkan pendapatan. Namun, praktik pembukaan lahan dengan cara tebang-bakar dan tanpa konservasi justru menimbulkan kerusakan serius. Tanah kehilangan lapisan suburnya, daya serap air menurun, dan struktur tanah menjadi labil. Saat hujan turun, air tidak lagi meresap ke dalam tanah tetapi langsung mengalir deras ke dataran rendah, membawa serta tanah dan batu dari lereng. Akibatnya, banjir bandang sering melanda daerah hilir, termasuk wilayah perkotaan. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana perubahan tata guna lahan di hulu memiliki dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat di bawah. Lebih jauh lagi, kerusakan hutan menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah untuk menahan air tanah. Saat musim kemarau, sungai-sungai kecil yang dulu mengalir sepanjang tahun kini kering. Sumber mata air berkurang drastis, dan sumur warga banyak yang tidak lagi memiliki air. Kondisi ini memperlihatkan hubungan erat antara hutan dan ketersediaan air “ketika hutan rusak, air pun menghilang”.


Dari Banjir ke Kekeringan: Siklus Bencana yang Diciptakan Manusia

Salah satu dampak paling nyata dari kerusakan hutan di Bima adalah meningkatnya frekuensi bencana alam. Dalam beberapa tahun terakhir, banjir bandang hampir setiap musim hujan menjadi langganan. Banjir bandang yang berasal dari daerah perbukitan menyeret lumpur, tanah, batu, dan batang kayu ke bawah, sehingga sawah tertimbun lumpur dan rumah-rumah warga juga bisa rusak atau tertutup material tersebut. Ironisnya, setelah musim hujan berlalu, masyarakat justru menghadapi masalah sebaliknya: kekeringan panjang. Sumber air berkurang, sumur kering, dan lahan pertanian gagal panen karena tidak ada air untuk irigasi. Banjir dan kekeringan seolah menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, keduanya lahir dari penyebab yang sama yaitu rusaknya hutan. Kerusakan hutan juga berdampak pada menurunnya keanekaragaman hayati. Satwa liar kehilangan habitatnya, dan beberapa jenis tanaman hutan yang dulunya mudah ditemukan kini mulai langka. Kondisi ini menandakan adanya degradasi ekosistem yang serius. Ketika keseimbangan ekologi terganggu, seluruh rantai kehidupan ikut terdampak.


Dampak Sosial dan Ekonomi yang Luas

Dampak kerusakan hutan tidak berhenti pada aspek ekologis semata. Ia juga menyentuh kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Banjir dan kekeringan menyebabkan kerugian besar bagi sektor pertanian, yang merupakan tulang punggung ekonomi masyarakat Bima. Banyak petani kehilangan hasil panen, bahkan lahan mereka rusak permanen akibat erosi dan sedimentasi. Ketika lahan pertanian rusak, daya beli masyarakat menurun. Kondisi ekonomi yang semakin berat memaksa sebagian warga kembali membuka lahan baru di hutan untuk ditanami jagung, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Akibatnya, laju kerusakan hutan terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain kerugian ekonomi, bencana akibat kerusakan hutan juga menimbulkan beban sosial. Rumah rusak, akses jalan terputus, dan fasilitas umum seperti sekolah dan jembatan sering kali ikut terdampak. Pemerintah daerah harus mengeluarkan biaya besar untuk penanganan darurat dan rehabilitasi pasca bencana. Padahal, jika hutan dikelola dengan baik sejak awal, biaya besar tersebut bisa dihindari.


Krisis Kesadaran dan Lemahnya Pengawasan

Salah satu akar utama dari persoalan ini adalah krisis kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan. Banyak orang belum memahami bahwa hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan. Pandangan bahwa hutan hanyalah lahan kosong yang bisa dimanfaatkan sesuka hati masih melekat kuat di sebagian besar masyarakat pedesaan. Selain faktor kesadaran, lemahnya pengawasan dari pihak berwenang juga turut memperparah keadaan. Banyak kawasan hutan dibuka tanpa izin resmi, sementara pengawasan di lapangan terbatas. Dalam beberapa kasus, pembukaan lahan justru dibiarkan dengan alasan demi kepentingan ekonomi masyarakat. Ketiadaan kebijakan tegas membuat kerusakan hutan berjalan tanpa kontrol. Reboisasi memang dilakukan di beberapa titik, tetapi tidak sebanding dengan laju pembukaan lahan baru. Hasilnya, kerusakan terus meluas, sementara upaya pemulihan berjalan lambat.


Langkah Strategis yang Diperlukan

Untuk menghentikan kerusakan hutan dan memulihkan kondisi ekologis Bima, diperlukan langkah-langkah strategis yang terencana dan konsisten. Pertama, pemerintah daerah harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap kawasan hutan. Setiap pembukaan lahan baru di kawasan lindung harus dihentikan dan diberikan sanksi tegas bagi pelanggarnya. Kedua, program reboisasi perlu dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan masyarakat lokal. Penanaman pohon tidak boleh hanya menjadi kegiatan simbolik, tetapi harus menjadi gerakan bersama. Masyarakat perlu diberdayakan melalui pendekatan partisipatif, misalnya melalui pembentukan kelompok tani hutan yang mengelola kawasan secara berkelanjutan. Ketiga, penerapan sistem agroforestri perlu diperluas. Sistem ini memungkinkan masyarakat menanam tanaman pangan di bawah tegakan pohon hutan, sehingga kebutuhan ekonomi tetap terpenuhi tanpa harus merusak ekosistem. Model ini terbukti efektif di berbagai daerah lain dan dapat diterapkan di Bima dengan menyesuaikan jenis tanaman lokal. Keempat, edukasi lingkungan harus menjadi prioritas. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan harus ditanamkan sejak dini melalui sekolah, lembaga masyarakat, dan kegiatan keagamaan. Dengan pendidikan lingkungan yang kuat, masyarakat akan memahami bahwa menjaga hutan sama artinya dengan menjaga sumber kehidupan mereka sendiri. Kelima, pemerintah perlu mengembangkan alternatif ekonomi bagi masyarakat di sekitar hutan. Ketergantungan terhadap jagung sebagai komoditas utama membuat warga terus membuka lahan baru. Diversifikasi ekonomi seperti pengembangan tanaman hortikultura, madu hutan, tanaman obat, atau wisata alam dapat menjadi solusi yang ramah lingkungan sekaligus bernilai ekonomi tinggi.


Peran Kolektif Masyarakat

Menjaga hutan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat. Setiap individu memiliki peran penting dalam melestarikan lingkungan. Masyarakat bisa berkontribusi dengan tidak menebang pohon sembarangan, melakukan penanaman kembali di lahan kritis, serta menjaga sumber air di sekitar tempat tinggalnya. Kerja sama lintas sektor juga dibutuhkan. Dunia pendidikan dapat berperan melalui penelitian dan penyuluhan lingkungan, sementara organisasi sosial dapat menjadi motor gerakan penghijauan. Media massa pun memiliki peran penting untuk terus mengedukasi masyarakat tentang bahaya kerusakan hutan dan pentingnya konservasi.


Bima di Persimpangan Jalan

Saat ini, Bima berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kebutuhan ekonomi masyarakat terus meningkat dan memerlukan lahan pertanian. Di sisi lain, kerusakan hutan yang terus meluas mengancam keberlanjutan hidup itu sendiri. Jika tidak segera diambil langkah nyata, Bima akan terus terjebak dalam siklus bencana ekologis yang berulang. Pilihan ada di tangan semua pihak: melanjutkan pola eksploitasi yang menghancurkan, atau beralih pada pola pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Keduanya akan menentukan seperti apa masa depan Bima dalam dua dekade mendatang, apakah tetap menjadi daerah rawan bencana, atau berubah menjadi wilayah yang hijau dan lestari.


Menanam Harapan untuk Masa Depan

Kerusakan hutan di Bima adalah pelajaran berharga tentang bagaimana manusia memperlakukan alam. Ketika hutan ditebang tanpa perhitungan, ketika tanah dibuka tanpa konservasi, maka bencana hanyalah soal waktu. Namun, di balik kondisi yang mengkhawatirkan ini masih ada harapan. Harapan itu tumbuh setiap kali seseorang menanam pohon, setiap kali masyarakat menolak pembukaan lahan baru, dan setiap kali generasi muda belajar tentang pentingnya lingkungan. Bima bisa pulih, jika kesadaran kolektif tumbuh dan kebijakan berjalan seiring dengan tindakan nyata di lapangan. Menjaga hutan bukan hanya tentang melindungi pepohonan, tetapi tentang mempertahankan kehidupan. Di sanalah sumber air, udara, dan tanah subur berasal. Tanpa hutan, manusia kehilangan penopang utamanya. Sudah saatnya masyarakat Bima memandang hutan bukan sebagai lahan kosong untuk dieksploitasi, melainkan sebagai warisan alam yang harus dijaga untuk generasi berikutnya. Menanam satu pohon hari ini berarti menanam harapan untuk esok yang lebih baik, harapan akan Bima yang kembali hijau, sejuk, dan damai bersama alamnya.

 

 Editor:

(m/NI)

 

 

×
Berita Terbaru Update