Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pendidikan sebagai Ruh dari Politik

Rabu, 28 Mei 2025 | Mei 28, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-28T21:56:33Z

Penulis, Izul Islamudin Fungsionaris PB HMI 2024-2026 (dok. istimewa)

Narasi Indonesia.com, Jakarta - Mengutip Niccolo Machiavelli dalam bukunya berjudul "Il Principe" menjelaskan bahwa, seorang penguasa yang efektif harus memiliki kualitas seperti: kecerdasan, kekuatan, kecakapan, serta kecerdasan politik. Itu artinya, pendidikan menjadi hal yang sentral dalam membentuk pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual, spiritual, atau bahkan emosional. Akan tetapi mampu membentuk insan-insan yang berkarakter yang tentunya memiliki jiwa kepemimpinan yang tangguh dalam mengarungi berbagai dinamika yang dinamis. Pendidikan dan politik merupakan dua pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa. Keduanya tidak dapat dipisahkan, karena saling melengkapi dalam menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan beradab tentunya. 


Pendidikan yang berkualitas melahirkan warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya, sementara politik yang sehat memerlukan aktor-aktor yang cerdas, berintegritas, dan memiliki komitmen pada kepentingan publik. Dalam konteks ini, pendidikan sejatinya menjadi ruh dari politik penentu arah, nilai, dan etika dari praktik kekuasaan.


Pendidikan bukan hanya proses transfer of knowledge, tetapi juga pembentukan karakter dan kesadaran kritis. Paulo Freire, dalam bukunya "Pedagogy of the Oppressed", menekankan bahwa pendidikan adalah alat pembebasan menjadikan individu sadar akan realitas sosialnya, serta mampu bertindak untuk mengubahnya. Politik yang tidak berlandaskan pada pendidikan akan kehilangan nilai-nilai moral dan intelektual yang semestinya menjadi fondasinya.


Dalam sistem demokrasi, keberhasilan politik sangat bergantung pada kualitas pendidikan warga negaranya. Pendidikan membentuk pemilih yang rasional, bukan sekadar massa yang mudah digiring oleh propaganda "many politic". Pendidikan juga mencetak pemimpin yang memahami tanggung jawabnya, bukan hanya mengejar kekuasaan semata. Tanpa pendidikan, politik cenderung menjadi arena perebutan kuasa yang pragmatis dan jauh dari kepentingan rakyat.


Lebih dari itu, pendidikan memainkan peran preventif terhadap politik yang korup. Individu yang terdidik secara etis dan kritis akan lebih sulit tergoda oleh praktik-praktik manipulatif, dan cenderung memperjuangkan transparansi serta akuntabilitas. Di sisi lain, negara yang mengabaikan pendidikan membuka ruang bagi oligarki, nepotisme, dan kebijakan yang tidak berbasis ilmu pengetahuan. Dikutip dari mcwngalam.org, "Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan harus mampu menyadarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Sehingga, pendidikan politik menurut Ki Hajar Dewantara merupakan pendidikan yang membentuk kesadaran politik masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara."


Oleh karenanya, investasi terbesar dalam membangun sistem politik yang beradab dan berkelanjutan bukan hanya dalam bentuk regulasi atau lembaga, tetapi dalam penguatan pendidikan. Kurikulum harus diarahkan untuk membangun nalar kritis, kepedulian sosial, serta kemampuan berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik. Guru harus diberdayakan sebagai agen perubahan, bukan sekadar pengajar. Pendidikan politik warga, sejak usia dini, harus menjadi bagian integral dari proses pendidikan nasional. 


Dengan demikian, pendidikan akan menjadi roh yang menghidupkan politik. Tanpa pendidikan yang mencerahkan, politik akan kehilangan arah dan makna. Sebaliknya, dengan pendidikan yang berkualitas dan berorientasi pada pembentukan karakter serta kesadaran sosial, politik akan menjadi sarana pengabdian kepada rakyat dan alat transformasi sosial yang efektif.*


Penulis:

Izul Islamudin (Fungsionaris PB HMI 2024-2026)


Editor:

(r/NI)

×
Berita Terbaru Update