![]() |
Narasi Indonesia.com, Jakarta - Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Ternate telah memasuki usia yang cukup tua, sejak Agustus tepatnya pada
tanggal 15 di tahun 1964 pada pukul 16.00 HMI resmi berdiri di Ternate yang
diprakasai langsung oleh Ayahanda Yusuf Abdurahman. Bukan usia yang belia
ketika bicara soal HMI Cabang Ternate, yang kurang lebih berusia 60 tahun.
Artinya bahwa HMI Cabang Ternate telah begitu banyak memberikan kontribusi
terhadap pembangunan Maluku utara, khususnya Kota Ternate.
HMI yang masuk bersamaan
dengan berdirinya Universitas Khairun, telah memberikan bukti kongkrit terhadap
daerah ini. Oleh karena itu, tugas kader adalah menjaga marwa HMI dan mengawal
proses pembangunan di daerah. Sebagai organisasi yang berdiri secara
independent tanpa berbaur dengan partai poltik manapun merupakan sifat dasar
HMI yang termaktub dalam Pasal 6 AD HMI.
HMI Cabang Ternate telah
berhasil memekarkan empat Cabang penuh dan satu Cabang persiapan, merupakan
patron dari setiap cabang yang ada di Maluku Utara. Napak tilas perjalanan HMI
Cabang Ternate dalam memproduksi kader-kader terbaik cukup lumayan banyak dalam
menempati tempat-tempat strategis di Maluku Utara. HMI di mata Jendral
Soedirman adalah Harapan Masyarakat Indonesia, namun tragisnya saat ini HMI kehilangan
arah juangnya sebagai organisasi perjuangan. Bukan hal baru, juga bukan rahasia
umum, kita telah membawa HMI jauh dari khittah perjuangan awal, perjuangan awal
yang dimaksudkan adalah komitmen asasi awal HMI berdiri, yaitu “mempertahankan
Negara Republik Indonesia serta mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta
mengembangkan ajaran agama islam” adalah alasan mengapa HMI harus lahir.
Hampir sama dengan kondisi
Maluku Utara, yang saat itu belum ada kampus, kehadiran HMI di Ternate
bersamaan dengan berdirinya Universitas Khairun telah membuka mata kita, bagaimana
tidak betapa urgennya kehadiran HMI saat itu. Melihat kondisi daerah,
ketidakstabilan berbagai aturan, tingginya inflasi, maraknya kerusakan
lingkungan, tumpang tindih nya berbagai IUP, pelelangan jabatan di pemprov,
masifnya korupsi, rendahnya mutu pendidikan, di tambah dengan masalah sampah
yang tak pernah selesai, membutuhkan tangan dan suara civil society seperti HMI
untuk selalu mengawal problem daerah saat ini.
Kondisi HMI Cabang Ternate
cukup memprihatinkan, tak ada bedanya dengan kondisi organisasi paguyuban, HMI
tak lagi punya taring yang di takutkan oleh pemerintah ketika membuka suara,
meneriakkan kondisi daerah. HMI semacam kehilangan arah juang dan khittah perjuangan dalam mengawal agenda keumatan dan kebangsaan. Padahal sebelumnya
HMI sangat disegani dalam landscape pikiran maupun tindakan, entah kenapa masih
menjadi pertanyaan untuk HMI Cabang Ternate.
Seharusnya diusia ke 60 tahun
HMI Cabang Ternate, harus memberikan semacam formulasi pikiran dengan
pendekatan kajian yang matang, untuk diberikan kepada pemerintah daerah. Toh
kader HMI menyebar di berbagai jurusan, baik soal politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan.
Urgensinya mungkin adalah terlalu berlarut-larut mengurus konflik internal
sehingga lupa menjalankan program kerja sebagai instrument perjuangan.
Di era yang serba terbuka ini, seharusnya HMI mampu mengambil
peran untuk selalu eksis ditengah kondisi pos truth. Kondisi HMI cabang Ternate
saat ini hampir sama ketika Agus Salim Situmpol menulis “44 Indikator
Kemunduran HMI” diantaranya, Peringatan Dies Natalis
HMI setiap tahun tidak semarak lagi dengan berbagai acara, seperti kegiatan
ilmiah, pengabdian kepada masyarakat, kegiatan kesenian, pameran, bazar dan
lain-lain, HMI tidak punya gagasan
atau karya yang layak diketengahkan sebagai kontribusi untuk memecahkan
berbagai problem yang muncul dalam masyarakat, Menurunnya peran HMI dalam
gerakan-gerakan mahasiswa di tingkat regional maupun nasional dalam merespon
berbagai tantangan, Program dibuat tanpa target, HMI
kehilangan strategi perjuangan, HMI terlalu banyak retorika daripada action,
HMI
kurang mampu mencetak kader dan pengurus yang bertipe problem solving,
dan lebih cenderung mencetak kader yang bertipe solidarity making,
HMI banyak terlibat dalam kegiatan politik, sehingga banyak menyedot perhatian,
tenaga, pikiran, bahkan dana, HMI sebagai mata rantai gerakan pembaharuan di
Indonesia, akhir-akhir ini tidak menampakkan lagi pemikiran-pemikirannya yang
cemerlang untuk melakukan pembaharuan dalam berbagai pemikiran.
Padahal sudah jelas HMI punya
ideology perjuangan, yang telah digagas oleh Cak Nur, yaitu Nilai-Nilai Dasar
Perjuangan. NDP merupakan ideology perjuangan yang dijadikan pisau analisis
dalam menafsir persoalan keumatan dan kebangsaan saat ini. Kalau kita sebagai
kader HMI cukup memahami NDP bukan hanya pada teks semata tetapi harus sesuai
dengan konteks dan diaplikasikan dalam merumuskan arah juang HMI maka yakin
sungguh HMI akan ditakuti serta disegani secara gagasan.
Interpretasi tentang HMI saat
ini sebagai organisasi perjuangan yang menampung segala keluh kesah masyarakat
telah membuat gep antara HMI dan masyarakat. Sebab HMI tak lagi mempersoalkan
urgensi berbagai ketimpangan social. Sebagai organisasi yang people orentet,
HMI seharusnya mampu mendistribusikan kader-kadernya sebagai “insan pencipta,
pengabdi” demi mencapai tujuan bersama “yang diridhoi Allah SWT”.
Sebab kenapa, jelas HMI telah
meletakkan tujuannya sebagai organisasi yang bernafaskan islam, HMI tak harus
menjadi berbangga dengan symbol semata, tetapi harus “action” dalam
merealisasikan tujuannya. Muncul pertanyaan besar mengapa HMI Cabang Ternate
begini-begini saja? Inilah tugas mereka yang disebut sebagai kader. HMI memang
mempunyai cara tersendiri dalam perjuangan, tak boleh heran ketika saat itu HMI
dikatakan dekat dengan kekuasaan. Sebab yang dipakai adalah pikiran kader HMI,
waktu itu HMI mampu merumuskan naskah-naskah akademik lewat kajian matang yang
dijadikan bahan rekomendasi kepada pemerintah dalam membuat kebijakan, toh hari
ini kader HMI sudah tak punya itu lagi.
HMI Cabang Ternate harus
keluar dari kemelut yang profane demi menuju kearah yang lebih progress. Kader
HMI Cabang Ternate harus mampu menjadi perisai untuk memberikan solusi, lewat
berbagai latar belakang bidang ilmu pengetahuan kader HMI, sehingga pendistribusian
kader sesuai dengan keahliannya masing-masing. Itulah bagi saya kurang dari
kita sebagai orang pernah berhimpun di HMI.
Bagi saya HMI harus “Real Action” dimanapun dan kapanpun, bergerak
melaju ke depan bukan cara HMI jika berdiam diri melihat berbagai persoalan di
daerah, HMI harus terlihat gaga berani seperti Gatot kaca, yang digambarkan
oleh Solichin dalam bukunya “HMI Candra Dimuka Mahasiswa” khususnya di Milad
ke-60 tahun HMI Cabang Ternate, harus merefleksikan perjuangan para pendiri HMI
di Ternate dan ketua-ketua umum HMI Cabang Ternate yang telah gugur di medan
juang, dalam membawah HMI melawan berbagai tirani di daerah.*
Penulis:
Abdullah Karmadi/Anggota HMI
Editor:
(m/NI)