![]() |
Nizam menjelaskan alasan Menteri Nadiem hapus syarat publikasi di jurnal untuk mahasiswa S2-S3 (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, JAKARTA-Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nizam, mengatakan beleid tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang baru diluncurkan Kementeriannya menekankan pada hasil kompetensi lulusan. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tidak lagi mengatur adanya kewajiban untuk menerbitkan makalah di jurnal ilmiah untuk mahasiswa S2-S3.
“Dengan deskripsi kompetensi sesuai KKNI (Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia). Bentuk proof of competency tersebut bisa
beragam dan harus ada. Tentu publikasi di jurnal bukan satu-satunya bentuk
proof of competency kemampuan seorang doktor mampu mengembangkan inovasi
keilmuannya,” ujar Nizam kepada Tempo melalui pesan WhatsApp pada Rabu, 30
Agustus 2023, dikutip pada laman resmi Tempo.co.
Sebelumnya, dalam aturan lama Permenristekdikti Nomor 44
Tahun 2015 mengatur secara khusus tentang kewajiban publikasi mahasiswa program
magister, doktor, dan doktor terapan.
Mahasiswa program magister misalnya, wajib menerbitkan
makalah di jurnal ilmiah terakreditasi atau diterima di jurnal internasional.
Mahasiswa program doktor juga wajib menerbitkan makalah di jurnal internasional
bereputasi dan mahasiswa program doktor terapan wajib menerbitkan makalah di
jurnal nasional terakreditasi atau diterima di jurnal internasional atau karya
yang dipresentasikan dalam forum internasional.
Persyaratan publikasi karya ilmiah ini, kata Nizam, menjadi
beban bagi mahasiswa S2 maupun S3 agar bisa lulus tepat waktu. Musababnya,
proses publikasi artikel ilmiah membutuhkan waktu yang cukup lama hingga
artikel bisa dipublikasi di jurnal yang kredibel.
Hal ini, kata Nizam, membuat menjamurnya jurnal predator
sebagai jalan pintas mahasiswa bisa menerbitkan karya ilmiah.
“Dengan kewajiban publikasi di jurnal internasional saat ini
yang terjadi kemudian malah banyak yang jadi target jurnal predator, sementara
untuk publish di jurnal internasional yang benar bereputasi, prosesnya bisa
bertahun-tahun. Sehingga kelulusan tertunda,” ujarnya.
Di sisi lain, Nizam mengatakan banyak juga riset yang
sensitif. Misalnya, terkait pertahanan. Ada juga yang potensial untuk
dipatenkan yang tidak bisa dipublikasikan di jurnal karena kerahasiaannya.
Maka itu dengan memberikan pilihan yang luas, kata Nizam,
Kementerian Pendidikan memberikan kebebasan pada pimpinan perguruan tinggi
untuk menetapkan standar ukuran ketercapaian lulusannya.
“Sekaligus mendorong diferensiasi misi. Misal, perguruan
tinggi riset, bisa mensyaratkan harus ada publikasi jurnal, perguruan tinggi
yang lebih orientasi industri bisa mensyaratkan HKI atau paten dan sebagainya,”
ujar Nizam.
Nizam menjelaskan seperti praktik baik di internasional,
yang menentukan harus publikasi karya ilmiah atau bentuk lain adalah perguruan
tinggi, bukan pemerintah.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim meluncurkan
Merdeka Belajar Episode Ke-26 bertajuk “Transformasi Standar Nasional dan
Akreditasi Pendidikan Tinggi” pada Selasa, 29 Agustus lalu. Dalam acara itu,
Kementerian merilis Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu
Pendidikan Tinggi.
Isi beleid tersebut di antaranya tak lagi mewajibkan
mahasiswa S1 untuk membuat skripsi sebagai syarat kelulusan hingga mahasiswa
S2-S3 yang juga tak lagi wajib publikasi makalah di jurnal. Mahasiswa program
magister, magister terapan dan doktor atau doktor terapan wajib diberikan tugas
akhir, namun tidak wajib untuk mempublikasikan karya ilmiah di jurnal.
“Standar nasional pendidikan tinggi kini menjadi lebih
sederhana. Di antaranya terkait pengaturan tugas akhir mahasiswa. Kedua, sistem
akreditasi pendidikan tinggi yang meringankan beban administrasi dan finansial
perguruan tinggi,” kata Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.*
(m/NI)