![]() |
Penulis Arifuddin Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang (dok. pribadi) |
Narasi Indonesia.com, MALANG-Kata etika berasal dari bahasa yunani kuno yakni ethos dengan varian makna, seperti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, akhlak, perasaan, sikap, dan cara pandang (K. Bertens, 2007 :4).
Sementara itu, etika dalam arti yang jamak (ta etha) yang artinya kebiasaan, dalam istilah yang terakhir ini yang merupakan latar belakang terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Aristoteles (384-332 SM) di dalam filsafat moral.
Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1953 mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sementara Kamus Bahasa Indonesia tahun 1998 mengartikan etika sebagai pertama, ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Kedua, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Berdasarkan pemaknaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut di atas bahwa etika dimaknai sebagai sebuah ilmu. Sementara itu dalam perspektif yang berbeda misalnya Max Weber di dalam “ The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” memaknai etika bukan sebagai ilmu, tetapi sebagai nilai (Max Weber, 1930 :35). Brooks pun menyatakan bahwa etika merupakan penilaian normatif mengenai kebenaran suatu perilaku atau apa yang seharusnya dilakukan (Iketut Widana dan Gusti Ayu Oka Cahaya Dewi, 2020 :3).
Jadi, berdasarkan penjelasan mengenai etika di atas, maka etika tidak cukup hanya dimaknai sebagai sebuah ilmu tentang etis melainkan harus dilihat sebagai sebuah nilai untuk mengukur kebenaran suatu tindakan.
Fungsi Etika
Terdapat tiga fungsi dari etika antara lain sebagai berikut: (a) Tempat untuk mendapatkan orientasi kritis ketika berhadapan dengan suatu moralitas yang kritis; (b) Menunjukkan suatu keterampilan intelektual yakni suatu keterampilan dalam berargumentasi secara rasional dan kritis; (c) Sebagai orientasi etis dalam mengambil keputusan yang wajar (M. Ridwan Hambali, dkk, 2021 :77-80).
Kemudian di dalam American Ethics Commission Bureau of Teaching menjelaskan fungsi dari etika adalah: (a) nengenal dan mengidentifikasi fungsi moral; (b) membentuk strategi atau cara dalam menganalisis masalah moral; (c) menghubungkan prinsip moral sehingga dapat dipertanggung jawabkan (Michael Boylan and James A. Donahue, 2016 :21-36).
Etika Politik
Etika politik dalam buku Franz Magnis Suseno mengemukakan bahwa etika politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan objek formal etika, yakni berkenaan dengan kehidupan politik berdasarkan prinsip dasar etika. Sementara objek materilnya adalah legitimasi negara hukum, kekuasaan, serta penilaian terhadap legitimasi-legitimasi tersebut (Frans Magnis Suseno, 2003: Xiii).
Sementara itu dalam buku empat esai etika politik yang ditawarkan oleh para ahli, maka Jurgen Habermas memberikan pandangan mengenai etika politik dan etika politik itu dikenal dengan etrika diskursus (F. Budi Haedinan, dkk, 2011: 1-143).
Di dalam etika diskursus Habermas terdapat muatan utama yakni: Pertama, Etika Politik Idealisasi dan Prosedur Komunikasi. Habermas memahami diskursus praktis sebagai sebuah bentuk komunikasi khusus dengan niveau (taraf) yang tinggi di mana prasyarat-prasyarat komunikasi tersebut melalui konsep “idealisasi” (Idealisierung) (Jurgen Habermas, 1991 :135). Kemudian Habermas mendefinisikan idealisasi komunikasi sebagai suatu proses memikirkan proses-proses komunikasi sedemikian rupa seolah-olah proses-proses tersebut berlangsung di dalam kondisi-kondisi ideal (Jurgen Habermas, 1991 :160). Kemudian untuk mewujudkan hal tersebut, perlu prasyarat-prasyarat komunikasi yang bersifat inklusif, egaliter dan bebas-dominasi.
Kedua, Etika Politik Dalam Ruang Publik Politis dan Masyarakat Warga, agar dapat memahami hal tersebut maka harus dimaknai terlebih dahulu mengenai ruang publik politis. Pemikiran Habermas mengenai ruang publik politis dapat dilihat sejak Habilitationsschrift-nya Strukturwandel der Őffentlichkeit (perubahan struktur ruang publik). Habermas memaknai bagaimana dalam masyarakat-masyarakat terglobalisasi dewasa ini, ajaran demokrasi radikal dari rousseau, yaitu volonté generale. Dapat dijelaskan dia berpendapat bahwa pencarian volonté generale memiliki ciri diskursif, yakni terjadi di dalam deliberasi publik yang berbentuk diskursus.
Melalui diskursus itu aspirasi politis umum terbangun secara komunikatif. ruang publik adalah locus bagi proses pencarian itu (Jurgen Habermas, 1990: 38). Artinya ruang publik itu memungkinkan warga negara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan warga negara untuk menggunakan kekuatan argumen.
Sementara Warga Masyarakat Habermas memaknai sebagai wilayah-wilayah para aktor masyarakat warga membangun ruang publik politis sebagai pluralitas (seperti keluarga-keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela.), publisitas (seperti media massa, institusi-institusi kultural.), keprivatan (seperti wilayah-wilayah perkembangan individu dan moral), legalitas (seperti struktur-strukur hukum umum dan hak-hak dasar) (Jurgen Habermas, 1990 : 436), dalam arti ini tidak hanya ada satu ruang publik, melainkan banyak ruang publik.
Ketiga, Etika Politik pada Agama dan Demokrasi. Habermas memberikan beberapa batasan normatif kepada pihak kelompok agama, pihak kelompok sekular, pihak negara, dan pihak mayoritas agama. (1) Adanya ‘penerjemahan’ terhadap kontribusi-kontribusi kelompok-kelompok agama dari bahasa religius partikular mereka ke dalam bahasa yang dapat diterima oleh publik karena dalam deliberasi resmi parlemen, kementerian, peradilan, dan birokrasi hanyalah ‘alasan-alasan sekular’ yang dapat diperhitungkan.
Oleh karena itu, keyakinan-keyakinan religius harus dijelaskan secara rasional, sehingga memiliki ‘status epistemis’ yang dapat diterima oleh warga lainnya, entah itu orang yang beragama lain atau yang sekular. (2) Menghargai dan saling memahami memahami posisi mitra diskursus, di mana masyarakat pasca sekular agama dan sekularitas merupakan komponen-komponen nilai setara yang harus dikomunikasikan untuk mencapai saling pengertian secara intersubyektif. (3) Sikap negara itu sendiri dalam deliberasi harus seperti neraca yang setimbang (Jurgen Habermas, 1990: 136).
Etika Politik dalam Pancasila
Bicara masalah etika politik dalam Pancasila tentu saja etika politik yang dimaksud adalah perpolitikan berdasarkan nilai-nilai dalam pancasila dan nilai-nilai itu secara tersirat ada di dalam butir pancasila itu sendiri.
Sila Ke-1 yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dalam politik harus mencerminkan sikap sebagai hamba Tuhan (Allah SWT) dan tidak boleh melupakan kewajiban kita terhadap apa yang telah dituntut oleh Nya.
Sila Ke-2 Kemanusiaan yang adil dan beradab, sikap yang mencerminkan sila kedua dalam berpolitik tentu saja mengikuti aturan yang telah ditetapkan, serta bersikap sopan, dan menjunjung tinggi adat istiadat.
Sila Ke-3 Persatuan Indonesia, persatuan indonesia dimaknai dalam sikap politik harus mengutamakan kepentingan negara dan nasional, serta masyarakat dari pada kepentingan diri sendiri dan kelompok.
Sila Ke-4 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maka sikap politik mengutamakan musyawarah dalam mencapai kemufakatan serta bersikap dan bertindak dengan kebijaksanaan dalam situasi dan kondisi apapun.
Sila Ke-5 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada sila terakhir ini dituntut adar sikap maupun tindakan politik harus adil, jujur, dan bersifat sosial tanpa pamrih sedikitpun (Dwi Yanto, 2017: 23-27).*
Penulis
Arifuddin, S.Pd. (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang)
Editor
M/NI