![]() |
Narasi Indonesia.com, Jakarta - Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural dan religius, media massa memegang peran krusial sebagai pilar keempat demokrasi, yang seharusnya tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga menjunjung tinggi etika jurnalistik dan sensitivitas budaya.
Namun, tayangan program Xpose pada 13 Oktober 2025, yang menampilkan narasi tentang santri dan kyai di Pondok Pesantren Lirboyo, telah menimbulkan gejolak emosional yang luas di kalangan umat Muslim, seolah menjadi "patah hati" kolektif yang menyiratkan pengabaian terhadap nilai-nilai sakral keagamaan.
Secara faktual, tayangan tersebut menggambarkan adegan santri yang "ngesot" untuk memberikan amplop kepada kyai sepuh, disertai narasi yang menyiratkan bahwa hal ini menjadi penyebab kyai semakin kaya raya. Narasi ini tidak hanya simplistik tetapi juga cenderung _reductio ad absurdum_, mereduksi praktik budaya pesantren yang sarat dengan nilai hormat, disiplin, dan pengabdian menjadi karikatur yang melecehkan.
Dari perspektif sosiologi agama, seperti yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dalam karyanya The Elementary Forms of Religious Life, institusi seperti pesantren merupakan manifestasi dari solidaritas kolektif masyarakat berbasis kepercayaan, di mana kyai dan santri mewakili simbol kemuliaan spiritual. Penghinaan terhadap elemen ini bukan sekadar kesalahan redaksional, melainkan serangan terhadap fondasi identitas umat Muslim Indonesia, yang mencakup jutaan santri dan alumni pesantren sebagai tulang punggung moral bangsa.
Dampak dari tayangan ini telah meluas, memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk seruan boikot di media sosial dengan tagar #BoikotTrans7 yang menjadi trending. Hal ini mencerminkan "patah hati" umat Muslim, di mana rasa sakit hati bukan hanya emosional tetapi juga struktural, mengingat pesantren telah berkontribusi signifikan dalam pembangunan karakter bangsa sejak era pra-kemerdekaan. Studi etnografis tentang pesantren, seperti yang dilakukan oleh Clifford Geertz dalam The Religion of Java, menunjukkan bagaimana lembaga ini menjadi pusat pembentukan nilai toleransi dan keilmuan Islam yang moderat. Oleh karena itu, narasi yang merendahkan kyai sepuh seperti KH. Anwar Manshur seorang ulama yang dihormati tidak hanya melukai individu tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap media sebagai agen edukasi.
Dalam kerangka etika media, prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 menekankan kewajiban jurnalis untuk menghormati keragaman budaya dan menghindari konten yang menimbulkan kebencian atau penghinaan terhadap kelompok tertentu. Tayangan Trans7 ini tampaknya melanggar asas tersebut, mengingat kontennya dinilai tidak mendidik dan cenderung sensasionalisasi demi rating.
Dari sudut pandang psikologi sosial, fenomena ini dapat dianalogikan dengan teori labeling Howard Becker, di mana labeling negatif terhadap kyai dan santri berpotensi memperkuat stereotip yang merugikan, sehingga memperlemah kohesi sosial di masyarakat plural seperti Indonesia.
Oleh sebab itu, saya Ratu Nisya Yulianti, Wakil Bendahara Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), merasa terpanggil untuk menyuarakan keprihatinan mendalam atas isu terkini yang melibatkan tayangan televisi di Trans7. Saya mendesak Trans7 untuk memberikan klarifikasi resmi yang transparan mengenai proses produksi tayangan tersebut: Apakah ada verifikasi fakta sebelum penayangan? Siapa yang bertanggung jawab atas narasi yang digunakan? Klarifikasi ini bukan hanya formalitas, melainkan langkah esensial untuk memulihkan kepercayaan publik.
Selain itu, sebagai institusi media yang berpengaruh, Trans7 memiliki tanggung jawab moral dan melanjutkannya dengan komitmen konkrit, sebagai upaya pengembalian citra sosok kyai da santri. Tanggung jawab ini sejalan dengan konsep akuntabilitas media dalam teori komunikasi massa Denis McQuail, yang menegaskan bahwa media harus bertanggung jawab atas dampak sosial dari kontennya jika tidak mampu maka seruan #BoikotTrans7 harus tetap menyala.
Akhirnya, insiden ini harus menjadi momentum bagi seluruh pemangku kepentingan media untuk merefleksikan peran mereka dalam membangun harmoni sosial. PB HMI siap berdialog konstruktif untuk mencegah kejadian serupa, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan beradab. Mari kita jaga martabat umat dan bangsa dengan bijaksana.*
(m/NI)