![]() |
Narasi Indonesia.com, Mataram - Dalam suasana penuh gegap gempita memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, publik dikejutkan dengan fenomena pengibaran bendera bajak laut One Piece di beberapa titik wilayah Indonesia, termasuk di NTB. Tindakan ini sontak menuai berbagai respons: mulai dari candaan hingga tudingan serius sebagai bentuk makar.
SEMMI NTB memandang fenomena ini bukan semata soal pelanggaran protokoler atau simbol budaya pop yang kebablasan. Kami melihatnya sebagai ekspresi sosial-politik yang lahir dari kegelisahan kolektif atas tumpulnya tata kelola negara dalam menjawab tantangan zaman.
Dalam perspektif teori kontrak sosial, negara lahir dari konsensus rakyat demi menjamin keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan sipil. Namun ketika negara gagal menjalankan fungsinya dengan korupsi merajalela, kesenjangan ekonomi melebar, dan keadilan terasa ilusi maka legitimasi negara di mata rakyat pun mulai luntur. Di titik inilah, simbol-simbol alternatif bermunculan sebagai bentuk perlawanan simbolik.
Bendera One Piece bukan sekadar kain dengan lambang tengkorak. Ia adalah metafora. Dalam narasi fiksi, bendera ini mewakili pemberontakan terhadap tirani, solidaritas kaum tertindas, dan pencarian keadilan oleh mereka yang terpinggirkan. Maka ketika bendera ini dikibarkan dalam momen sakral kemerdekaan, ia membawa pesan yang dalam: "Rakyat kecewa, namun belum menyerah".
Menyikapi hal ini dengan tuduhan "makar" justru menunjukkan ketakutan negara terhadap suara warganya sendiri. Alih-alih represif, negara seharusnya melakukan introspeksi: mengapa simbol bajak laut lebih dipercaya mewakili semangat keadilan ketimbang simbol negara sendiri?
SEMMI NTB menegaskan bahwa:
1. Pengibaran simbol alternatif adalah bentuk ekspresi sosial, bukan tindakan makar.
2. Negara harus membaca gejala ini sebagai kritik, bukan ancaman.
3. Represi terhadap simbol hanyalah menunda ledakan aspirasi yang lebih besar.
Merdeka bukan hanya soal tanggal 17, tapi tentang keberanian mengoreksi jalannya bangsa.
Jika simbol negara kehilangan makna, maka rakyat akan menciptakan simbolnya sendiri.*
Penulis:
Muhammad Rizal Ansari (Ketua Umum SEMMI NTB Periode 2025-2027)
Editor:
(m/NI)