Narasi Indonesia.com, Jakarta - Di balik Pesona Keindahan Alam dan kekayaan Keberagaman Budaya di Indonesia wilayah timur, tersimpan sejuta bahkan triliunan kekayaan Alam, Cadangan Mineral Batubara dan emas yang dimiliki Indonesia timur inilah, mengharuskan Negara-negara besar korporasi asing Menjadikan Wilayah timur sebagai Medan pertempuran dan persaingan usaha untuk memenuhi kebutuhan pasar global dan kemakmuran Negaranya.
Maluku Utara Merupakan provinsi yang memiliki cadangan Sumber Daya Alam berlimpah, serta wilayah dengan potensi Nikel tertinggi di Indonesia. terutama cadangan Nikel, kementrian Energi dan sumber Daya Mineral mencatat Indonesia memiliki cadangan Nikel sebanyak 5,3 miliar ton. Direktur jenderal Mineral dan Batubara Tri Winarno mengatakan cadangan ini terdiri atas bijih nikel kadar rendah atau saprolit dan bijih nikel kadar tinggi atau limonit.
Berdasarkan Paparan Tri Winarno, Maluku Utara Menjadi Provinsi yang memiliki cadangan bijih nikel terbanyak di Indonesia, mencapai 1,86 miliar ton.
Maluku Utara Sebagai Provinsi is another significant nickel producing region in Indonesia, khususnya di 3 Kabupaten Haltim, Halteng dan Halsel Pada tahun 2024, kontribusi sektor Tambang pengolahan nikel telah mencapai 18,52% dari total perekonomian Maluku Utara. Di sektor Ekspor, nikel juga mendominasi dengan kontribusi sebesar 47,85 %.
Peningkatan ekspor, Nilai ekspor Maluku Utara pada Bulan November 2024 Mengalami peningkatan. Dari USD876,76 juta (setara Rp14 triliun lebih) pada Oktober, naik menjadi USD1.484, 49 juta (sekitar Rp23,7 triliun) pada November, atau meningkat sebesar 69,32 persen.
Maluku Utara seharusnya Menjadi pusat kemakmuran dan kesejahteraan di Indonesia dengan kata lain Masyarakat Maluku Utara seharusnya sudah sejahtera. Namun Kebijakan Hilirisasi Nikel, justru makin mengukuhkan ketidakadilan struktural karena mengalihkan kekayaan alam dari Masyarakat adat atau dari Rakyat Ke Pejabat daerah, Oligarki Jakarta, dan Investor China, alih-alih mendorong hilirisasi yang memakmurkan daerah atas nama pembangunan, Kebijakan ini Malah menjadikan Maluku Utara Korban sistemik dari sentralisasi kekuasaan dan Perampasan sumber daya alam. Masyarakat adat sudah bersuara, Tidak Menolak Pembangunan tetapi Menolak kehadiran Perusahaan Tambang Operasi Nikel, karena Pertambangan pada ujung-ujungnya hanya Merampas Ruang Hidup Masyarakat Maluku Utara, Menghancurkan Alam merusak lingkungan, tidak memberikan dampak ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kesejahteraan secara merata Justru Masyarakat Maluku Utara semakin miskin.
Data Kemiskinan Oleh Badan pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku Utara Menunjukkan Bahwa Jumlah penduduk Miskin di Maluku Utara pada tahun 2024 adalah 79,69 ribu orang.
Uniknya Kemiskinan tertinggi justru meningkat di kabupaten yang menjadi pusat industri pengolahan nikel, yakni Haltim dan Halteng merupakan daerah dengan angka kemiskinan tinggi, Halmahera Tengah Kemiskinan mencapai 10,71 sementara Halmahera Timur 11,91.
Kebijakan Proyek strategis nasional dan Hilirisasi Nikel, Yang Memusatkan Maluku Utara sebagai titik api pengerukan dalam rangka menopang pendapatan nasional, Kebijakan dan regulasi ini justru mengubah sumber hidup Masyarakat Maluku Utara, menjadi Medan ekploitasi. Masyarakat Maluku Utara berjuang demi mempertahankan tanah air dan sumberdaya alam untuk anak cucunya, sehingga melakukan gerakan perlawanan untuk Menolak Pertambangan justru Masyarakat di keroyok di represif dan diintimidasi bahkan di penjarakan ini situasi objektif yang terjadi di Maluku Utara, 11 Warga Maba Sangaji Yang perhari ini masih ditahan dibalik teruji besi, dalam Rutan. Juga Masyarakat adat Wayamli yang menjadi korban karena melakukan protes terhadap Perusahaan Tambang STS Di Haltim ketika melakukan aksi dan memblokade Aktivitas Perusahaan kemudian di hadang oleh aparatus kepolisian akibat beberapa warga Wayamli yang terluka.
Lebih parah lagi, temuan kandungan arsenik dan merkuri pada ikan tangkapan di teluk Weda oleh nelayan setempat. Hasil penelitian bersama Nexus foundation dan Universitas Tadulako (Untad).
Kebijakan dan regulasi Negara Mulai dari UU PMA UU Minerba 2009 hingga UU Minerba 2020 sampai revisi UU Minerba Nomor 2 Tahun 2025. Negara memberikan karpet merah melalui regulasi kepada investor, Membuka kran besar-besaran untuk investor korporasi asing yang dipandu oleh Oligarki dan elit Negara serta aparat TNI-Polri sebagai Alat pelindung yang perhari ini lajunya investasi asing yang masif bercokol dan merampas sumber daya alam di Indonesia khususnya di Maluku Utara. Sementara Masyarakat adat Lokal, masyarakat lingkar Tambang semakin sulit mengakses Sumber-sumber kebutuhan dasar untuk keberlangsungan hidupnya, karena semua sumber dayanya sudah di kuasai dan dirampas oleh Korporasi melalui pemerintah, akibatnya masyarakat lingkar tambang menanggung beban penderitaan atas kejatahan Negara dan korporasi.
Masyarakat Maluku Utara semestinya skeptis dengan segala regulasi dan kebijakan yang mengatur daerah ini. Termasuk skeptis pada Peraturan pemerintah dan Regulasi UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 hingga revisi UU Minerba Nomor 2 Tahun 2025. Yang meskipun dalam muatan regulasi mengatur tentang pengelolaan lingkungan, itu hanya ilusi belaka. Karena Pada prinsipnya logika pemodal orientasinya hanya Profit atau keuntungan yang dikejar. Karena Korporasi Tidak akan pernah melihat aspek lingkungan sebagai tanggung jawab untuk di jaga karena itu kita harus meragukan seluruh kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia dalam berbagai program dan kebijakan mendukung implementasi konsep Green Ekonomi yang merupakan bagian integral dari prinsip dasar proyeksi negara dalam melakukan penataan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Namun realitas berkata lain, yang terlihat hanyalah kerusakan tanpa memperhatikan lingkungan itu artinya konsep Green Ekonomi hanya sebagai teks dan narasi yang sengaja dibeberkan untuk meyakinkan masyarakat, selebihnya lingkungan Terabaikan.
Pada dasarnya bahwa Ekonomi Hijau adalah konsep yang memproyeksikan tentang keberlanjutan Ekonomi tentunya Membangun Ekonomi yang tidak menguras sumber daya alam dan menjaga lingkungan untuk generasi mendatang.
Markandya dan Barbier mendefinisikan Ekonomi Hijau (Green Ekonomi) merupakan konsep ekonomi yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat yang disertai dengan mengurangi resiko kerusakan lingkungan (Retnosuryadi 2024). Kendati tujuan dan definisi seakan membawa niat baik, Green Ekonomi atau Ekonomi hijau malah menimbulkan permasalahan di pelbagai negara. Misalnya di Indonesia, Penerapan green ekonomi mengakibatkan masyarakat adat di Maluku Utara terpinggirkan, karena Industri pertambangan dikuasai Oleh investor dari China.
Di Indonesia sendiri, implementasi kebijakan Ekonomi Hijau disusun untuk melayani korporasi besar. Segala kebijakan dan regulasi serta program dari pemerintah pusat maupun daerah terutama UU Minerba 20 Tahun 2025 mengenai perizinan dan Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya alam, segala kebijakan yang memberikan kebebasan kepada korporasi asing untuk mengelola sumberdaya alam.
Kebijakan ini lebih menguntungkan korporasi, serta meminggirkan Masyarakat Lokal terutama masyarakat lingkar tambang dan merusak keberlanjutan lingkungan.
Kebijakan ini Nampaknya bukan hanya tidak adil justru Ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kedaulatan negara atas sumber daya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tolak Revisi UU Minerba 2 Tahun 2025 dan Kembalikan desentralisasi, Berikan wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengelola sumber daya alamnya, karena sejauh ini segala kebijakan yang diatur oleh pemerintah pusat yang mendatangkan malapetaka dan mudarat, terlebih mengenai dengan hilirisasi dan industri pengolahan nikel yang perhari masif terjadi di Maluku Utara, namun kesejahteraan tak terdistribusi secara merata karena semuanya dikendalikan oleh Pemerintah pusat yang ujung-ujungnya hanya memusatkan pembangunan di Jakarta dan sekitarnya.*
Penulis:
Dilfan Najim (Presiden BEM FEB UNKHAIR)
Editor:
(m/NI)