×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Bidang Lingkungan Hidup Kohati PB HMI Mengecam dan Soroti Tambang Nikel di Raja Ampat: Ancaman Ekologis, Ekosistem, dan Kaum Perempuan

Senin, 09 Juni 2025 | Juni 09, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-09T22:34:21Z

Desti Aulia Ketua Kohati PB Bidang Lingkungan Hidup (dok. istimewa)

Narasi Indonesia.com, Jakarta - Polemik aktivitas tambang nikel di Kawasan Raja Ampat kembali mencuat dan menuai sorotan publik. Kali ini, Bidang Lingkungan Hidup Kohati PB HMI secara tegas mengkritisi aktivitas tersebut yang dinilai mengancam ekosistem, masa depan masyarakat adat, serta perempuan di wilayah tersebut, pada Selasa (10/6/2025).


Ketua Kohati PB HMI Bidang Lingkungan Hidup, Desti Aulia, menyampaikan keprihatinannya atas potensi kerusakan ekologis dan ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh eksplorasi dan eksploitasi nikel di kawasan konservasi dunia tersebut.


“Raja Ampat adalah permata biru di ujung timur Indonesia, tempat laut yang jernih, karang megah, dan pulau-pulau yang menyatu dalam harmoni alam luar biasa. Di balik itu, ada masyarakat adat yang menjaga warisan ini dengan kearifan lokal. Aktivitas tambang di sini adalah ancaman nyata terhadap keberlanjutan ekosistem dan hak hidup mereka,” ujar Desti dalam keterangan resmi, Minggu (8/6/2025).


Desti menyebut, kekhawatiran publik merupakan hal yang wajar, mengingat Raja Ampat adalah kawasan strategis nasional yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Ia menilai isu tambang nikel menyoroti konflik antara kepentingan ekonomi dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan serta pembangunan berkelanjutan.


Kajian Regulasi: Banyak Celah, Minim Perlindungan

Dalam kajian Kohati PB HMI, ditemukan beberapa celah hukum yang memungkinkan aktivitas tambang tetap berjalan meski berada di kawasan sensitif.


Beberapa poin penting dari kajian hukum dan regulasi:

* UU No. 3/2020 tentang Minerba, memberi kuasa besar pada pemerintah pusat dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

* UU No. 32/2009 tentang PPLH dan PP No. 22/2021 mewajibkan AMDAL, namun pelaksanaannya sering kali tidak transparan.

* UU No. 27/2007 (jo. UU No. 1/2014) melarang aktivitas tambang di pulau kecil (<2.000 km²), namun terdapat celah “kepentingan nasional” yang kerap disalahgunakan.


Ekosistem Raja Ampat: Pusat Kehidupan Laut Dunia

Desti menyoroti keunikan Raja Ampat sebagai wilayah dengan lebih dari 1.500 spesies ikan dan 75% spesies karang dunia. Menurutnya, kerusakan di kawasan ini tak hanya berdampak lokal, tapi juga global.


“Setiap sedimentasi, limbah, dan erosi akibat tambang mengancam struktur ekosistem laut yang telah berusia ribuan tahun. Ini bukan sekadar soal Indonesia, ini soal bumi,” tegasnya.


Perempuan di Garis Depan Ancaman

Poin lain yang menjadi sorotan Kohati PB HMI adalah dampak aktivitas tambang terhadap perempuan, terutama perempuan adat.


Lebih lanjut, Desti mengungkapkan, Perempuan kehilangan akses ke sumber pangan, air bersih, dan obat alami; Terjadi eksklusi perempuan dalam pengambilan keputusan penting di komunitas; dan Meningkatnya risiko sosial seperti kekerasan, pergeseran nilai, dan prostitusi akibat masuknya tenaga kerja tambang dari luar.


“Perempuan bukan hanya penjaga rumah, tapi penjaga alam. Mereka adalah yang pertama merasakan dampak dari rusaknya hutan dan laut. Kita harus dengarkan suara mereka,” ujar Desti.


Desakan dan Rekomendasi Kohati PB HMI

Dalam sikap resminya, Kohati PB HMI Bidang Lingkungan Hidup menyampaikan beberapa rekomendasi strategis kepada pemerintah, antara lain:


1. Peninjauan ulang, Izin Usaha Pertambangan (IUP), khususnya milik PT GAG Nikel.

2. Audit independen, terhadap dokumen AMDAL dan keterbukaan informasi kepada publik.

3. Pemetaan ulang kawasan konservasi, agar dikeluarkan dari wilayah eksplorasi pertambangan nasional.

4. Langkah hukum, seperti judicial review atau citizen lawsuit terhadap regulasi yang dinilai merugikan lingkungan.


Tambang Nikel dan Paradoks Pembangunan Indonesia

Kritik utama yang disampaikan Desti adalah paradoks antara ambisi industrialisasi dan komitmen terhadap keberlanjutan.


“Tambang nikel di Raja Ampat menunjukkan paradoks arah pembangunan Indonesia  antara industrialisasi ekstraktif dan pembangunan pariwisata ekologis. Harusnya, Raja Ampat dijaga, bukan dijual,” katanya.


Penolakan Tegas

Mengakhiri pernyataannya, Desti menegaskan bahwa Kohati PB HMI Bidang Lingkungan Hidup menolak dengan tegas seluruh bentuk aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil Raja Ampat.


“Kami menuntut pencabutan IUP yang merusak ekosistem dan keberlanjutan hidup masyarakat adat. Melindungi Raja Ampat adalah bentuk nyata menjaga bumi dan masa depan bersama,” pungkasnya.*


(m/NI)



×
Berita Terbaru Update