Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kendaraan Listrik Tidak Ramah Disabilitas Netra : Perspektif Kritis dari Orientasi Mobilitas Anak Tuna Netra

Minggu, 04 Mei 2025 | Mei 04, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-04T09:54:49Z

 

Alfian Eko Rachmawan, M.Pd.I, CETP. Dosen Institut Islam Mamba'Ulum Surakarta Fakultas Tarbiyah, Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)

Narasi Indonesia.com, SURAKARTA- Perkembangan teknologi otomotif, terutama kendaraan listrik, telah membawa angin segar dalam upaya global mengurangi emisi karbon dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih. Namun, di balik manfaat ekologis tersebut, terdapat konsekuensi serius yang kerap terabaikan, khususnya bagi kelompok penyandang disabilitas netra. 


Anak-anak tuna netra, yang tengah dalam proses pengembangan keterampilan orientasi dan mobilitas, menghadapi tantangan baru dalam dunia yang semakin didominasi oleh kendaraan nyaris tanpa suara ini. Sebagai seorang pendidik dan praktisi di bidang pendidikan luar biasa, saya memandang pentingnya mengangkat suara kelompok rentan ini dalam diskursus publik dan kebijakan teknologi.


Kendaraan listrik, meskipun dianggap sebagai simbol kemajuan, justru dapat menjadi sumber ancaman keselamatan bagi anak-anak tuna netra yang sangat mengandalkan isyarat suara untuk menavigasi lingkungan mereka.


Orientasi dan Mobilitas: Fondasi Kemandirian Anak Tuna Netra


Orientasi dan mobilitas (O&M) merupakan keterampilan penting yang diajarkan sejak dini kepada anak-anak tuna netra. Orientasi merujuk pada kemampuan mengenali posisi diri di lingkungan sekitar, sedangkan mobilitas adalah kemampuan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain secara mandiri dan aman. Kedua keterampilan ini sangat mengandalkan indra pendengaran, sentuhan, dan penciuman untuk menggantikan fungsi penglihatan.


Dalam konteks urban yang padat kendaraan, suara menjadi petunjuk krusial. Anak-anak tuna netra belajar mengenali suara kendaraan untuk menentukan kapan harus menyeberang, dari arah mana kendaraan datang, dan seberapa cepat laju kendaraan tersebut.


Kendaraan konvensional dengan mesin pembakaran internal menghasilkan suara yang cukup jelas, sehingga membantu mereka memperkirakan posisi dan pergerakan kendaraan.


Namun, kendaraan listrik hampir tidak mengeluarkan suara pada kecepatan rendah. Ketika bergerak perlahan, seperti saat melintasi area perumahan atau mendekati penyeberangan, suara mesin kendaraan listrik sangat minim, hampir tak terdengar oleh telinga anak tuna netra. Ini menciptakan blind spot sensorik yang membahayakan.


Kendaraan Listrik: Ancaman Senyap Bagi Mobilitas Mandiri


Minimnya suara dari kendaraan listrik bukan hanya kendala teknis, melainkan isu keselamatan. Penelitian dari National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kendaraan listrik dan hibrida memiliki kemungkinan 37% lebih tinggi untuk menabrak pejalan kaki penyandang disabilitas dibanding kendaraan bermesin konvensional. Dalam konteks anak-anak tuna netra yang baru belajar mengenali pola lalu lintas melalui suara, kondisi ini memperparah risiko yang mereka hadapi.


Sebagai dosen yang aktif mendampingi anak-anak dengan disabilitas netra di lapangan, saya telah menyaksikan langsung bagaimana suara kendaraan menjadi alat bantu alami yang tidak tergantikan. Banyak anak yang mampu menyeberang jalan secara mandiri karena mampu mengenali jenis kendaraan hanya dari suara. Ketika alat bantu alami ini dihilangkan oleh teknologi yang tidak inklusif, maka secara tidak langsung kita telah mencabut hak mereka atas mobilitas yang aman dan mandiri.


Solusi Inklusif: Peran Teknologi yang Ramah Disabilitas


Inklusivitas teknologi harus menjadi prinsip utama dalam setiap inovasi. Dalam kasus kendaraan listrik, solusi dapat berupa penerapan Acoustic Vehicle Alerting System (AVAS) – sistem yang mengeluarkan suara buatan ketika kendaraan bergerak dengan kecepatan rendah. Uni Eropa bahkan telah mewajibkan kendaraan listrik baru untuk menggunakan AVAS sejak tahun 2019. Sayangnya, implementasi sistem ini masih belum merata secara global, apalagi di negara-negara berkembang.


Lebih dari sekadar penambahan suara, keterlibatan komunitas disabilitas dalam perancangan teknologi sangat krusial. Anak-anak tuna netra dan para pendidik yang mendampingi mereka harus dilibatkan dalam uji coba lapangan dan pengembangan kebijakan transportasi agar hasilnya benar-benar responsif terhadap kebutuhan nyata.


Menutup Kesunyian dengan Suara Keadilan


Kemajuan teknologi tidak boleh menjadi alasan untuk meninggalkan kelompok rentan. Kendaraan listrik, dengan segala keunggulannya, tidak boleh terus didesain hanya dengan mempertimbangkan kepentingan mayoritas. Bagi anak-anak tuna netra, suara bukan hanya isyarat, melainkan simbol dari kemandirian, keselamatan, dan hak untuk hidup setara.


Sudah saatnya kita menutup kesunyian yang berbahaya ini dengan suara keadilan, suara yang mewakili inklusivitas, empati, dan tanggung jawab sosial dalam setiap langkah inovasi.


Editor:

(m/NI)


×
Berita Terbaru Update