Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Celotehan NF Putra Desa Melalui Ujung Pena: May Day! May Day! 2025

Minggu, 04 Mei 2025 | Mei 04, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-04T07:50:17Z



Narasi Indonesia.com, Jakarta - Teriakan itu menggema dari kota hingga ke layar-layar televisi di pelosok desa. Tapi tidak semua mendengarnya, apalagi memahaminya.


Dari 27 April hingga puncaknya 1 Mei 2025, media-media nasional sibuk menyiarkan perayaan Hari Buruh. Monas dipenuhi lautan manusia berseragam aspirasi. Spanduk berkibar, toa bersuara lantang, dan pidato-pidato menjadi penghangat langit Jakarta. Di tengah keramaian itu, hadir sosok Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto. Orasinya menggema seperti tiupan terompet perang: penuh semangat, janji, dan ketegasan.


Beliau berbicara tentang kesejahteraan. Tentang harapan. Tentang buruh yang tak lagi tertindas. Tentang Indonesia yang bangkit. Semua disampaikan dengan gaya meyakinkan yang berhasil menghipnotis mereka yang hadir. Media berlomba-lomba mengutip kata demi kata. Orasi itu menjadi "angin segar" yang katanya akan menyapu panasnya penderitaan para buruh di negeri ini.


Namun, izinkan saya bertanya: apakah angin segar itu sampai ke lembah-lembah pedalaman? Apakah getaran semangat itu menyentuh para buruh yang tak pernah tahu apa itu "serikat", apa itu "kebijakan", apalagi "undang-undang perlindungan tenaga kerja"?


Saya lahir dari desa, tumbuh di pedalaman. Saya melihat sendiri buruh-buruh yang tidak hadir di Monas, tapi hadir setiap hari di ladang, di pabrik kecil, di bangunan reyot. Mereka tidak tahu soal orasi presiden. Mereka tidak tahu tanggal 1 Mei adalah Hari Buruh. Tapi mereka tahu satu hal: bekerja hari ini untuk bisa makan besok.


Mereka ini yang saya sebut sebagai Masyarakat Buruh Tertinggal.

Yang tidak terjangkau janji-janji. Yang tidak tercatat dalam data statistik orasi.


Presiden bisa berbicara tentang peraturan baru, jaminan ketenagakerjaan, kesetaraan upah dan perlindungan hak. Tapi bila tak ada sistem yang langsung menyentuh tangan-tangan yang kapalan itu, semua akan lewat seperti angin.


Maka lewat pena ini, saya ingin menyarankan:

Buatlah Perpres yang wajibkan para pelaku usaha untuk menyamaratakan jam kerja dan perlakuan kontrak. Harus ada pengawasan nyata, bukan hanya di kota, tapi hingga ke desa. Jika pun PHK terjadi, negara harus hadir sebagai penengah, bukan hanya pengamat.


Angka pengangguran 5,2% menurut data IMF adalah sinyal bahaya. Tapi lebih bahaya lagi adalah ketika orasi hanya terdengar oleh mereka yang bersuara, bukan mereka yang bekerja dalam diam.


Jangan sampai Hari Buruh hanya jadi panggung bagi mereka yang kuat bersuara, tapi tetap membungkam mereka yang bekerja tanpa pernah didengar.


May Day! May Day!

Teriakan kami dari pedalaman. Bukan minta diselamatkan, hanya minta disamakan.*


Penulis:

NF. Putra Desa



×
Berita Terbaru Update