Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Penthahelix dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme

Sabtu, 09 Desember 2023 | Desember 09, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-12-09T08:51:34Z

Foto ilustrasi (dok. istimewa)

Narasi Indonesia.com, JAKARTA-Kata radikalisme dan terorisme tentu sudah tidak asing lagi bagi kita semuanya, dimana hal tersebut sering kita dengarkan dan kita lihat, baik secara langsung maupun tidak langsung, di berbagai media cetak dan elektronik. Radikalisme dan terorisme telah menimbulkan krisis keamanan nasional. Bangsa Indonesia sedang menghadapi krisis keamanan dalam negeri yang ditandai oleh munculnya gerakan-gerakan radikal yang mengumandangkan semangat anti ideologi Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal. 


Ketika Bom Bali 1 tahun 2002 berlanjut Bom Bali 2 tahun 2005, Bom Sarinah Jakarta Pusat 14 Januari 2016, terakhir terror dan beberapa teror Bom lainnya, dunia tersentak tidak terkecuali Indonesia yang mayoritas berpenduduk agama islam. Namun lebih mengagetkan lagi, peristiwa pemboman tersebut kemudian dihubung-hubungkan dengan gerakan Islam fundamentalis radikal pimpinan Osamah bin Laden dan belakangan muncul pengaruh baru yaitu kelompok yang menamakan didirinya ISIS, dengan segala organ-organnya, seperti Jamaah Islamiyah. Bahkan, Jaringan Jamaah Islamiyah, dan ISIS (Negara Islam Irak dan Syam) di sinyalir berada di Indonesia.


Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Radikalisme Dan Terorisme di Indonesia

Radikalisme di Indonesia muncul tidak dalam ruang hampa. Ummah (2012) mengidentifikasi prakondisi yang memicu tumbuhnya gerakan radikalisme, yaitu: tekanan politik dan otoritarianisme, adanya emosi keagamaan, faktor kultural dan faktor ideologis anti westernisasi. Tekanan politik penguasa atau tekanan otoritarianisme pada masa Orde Baru, dimana negara menumpas gerakan-gerakan radikal dan memandang radikalisme sebagai common enemy yang harus dilenyapkan. Penangkapan, penyiksaan dan penculikan terhadap tokoh-tokoh radikalisme kiri semacam Partai Rakyat Demokratik (PRD) di era 90-an maupun tokoh kalangan radikalisme kanan seperti Komando jihad di era 80-an. Namun, di era reformasi arus demokratisasi membuka peluang munculnya gerakan radikal kanan seperti Hizbut Tahrir Indonesia, (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Salafi, Laskar Jundullah, Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Negara Islam Indonesia (NII) dan berbagai agama bercorak lokal.


Selain tekanan politik, faktor emosi dan solidaritas keagamaan turut memicu maraknya aksi radikalisme di awal reformasi. Kerusuhan bernuansa SARA sebagaimana yang terjadi di Timor Timur, Poso, Ambon, Sambas, termasuk aksi kekerasan kelompok FPI dengan Ahmadiyah di Cikeusik, kerusuhan di Temanggung, Lombok dan kerusuhan Syiah dan NU di Madura merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh gerakan radikal. Faktor kultural turut menjadi pemicu radikalisme dari perspektif antithesis terhadap budaya sekularisme dan dominasi peradaban barat yang menyebabkan ketertindasan dan keterbelakangan kehidupan negeri-negeri muslim. Selanjutnya, faktor ideologis menjadi pemicu radikalisme ditandai dengan gerakan antiwesternisme yang diaplikasikan lewat penghancuran simbol-simbol Barat dan penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme menunjukkan ketidak mampuan persaingan dengan budaya dan peradaban Barat. 


Peran Pemerintah Menanggulangi Radikalisme dan Terorisme

Menyadari keterbatasan pendalaman tentang penyebab radikalisme yang bersifat multi wajah dan multi organisasi, maka menurut kami pemerintah perlu menerapkan langkah strategis untuk pencegahan dan penanganan radikalisme dan aksi-aksi terorisme di Indonesia yang mencakup: penguatan kebijakan, penguatan institusi pendidikan formal, penataan pemanfaatan media serta strategi yang tepat untuk deradikalisasi dan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.


Langkah pertama adalah Pemerintah segera mempercepat revisi UU Anti Terorisme, yang mengatur hal-hal berikut:

1)       Mengatur kegiatan pembinaan, pencegahan dan deradikalisasipelaku teror;

2)       Selain mempertegas juga memperluas definisi makar, sehingga, WNI yang telah keluar dari wilayah NKRI dan bergabung dengan NIIS dapat dianggap makar dan dipidana;

3)       Aparat keamanan bisa menindak orang atau organisasi kemasyarakatan yang menyatakan bergabung dengan kelompok radikal, apalagi jika kelompok radikal telah melaksanakan pelatihan dan distribusi bahan peledak dan alat elektronik untuk tujuan teror;

4)       Menindak kegiatan kelompok teroris di dunia maya dan internet, dan penaturan tindakan hukum terhadap hasutan untuk melakukan tindakan terorisme, seperti seruan berupa tulisan, ceramah dan video;

5)       Pengaturan koordinasi antar lembaga yaitu BNPT, BIN, Densus, Bais TNI dan Kepolisian;

6)       Penguatan posisi kepolisian tidak hanya pada tahap penanggulangan tetapi juga pada tahapan pencegahan dan deradikalisasi.

7)       Penuntutan dan pengusutan pelaku terorisme tidak hanya pada orang perorang tetapi juga korporasi;

8)       Pencabutan paspor bagi WNI yang bergabung dengan kelompok radikal di luar negeri termasuk mengikuti pelatihan militer;

9)       mengatur tentang pengawasan terhadap pelaku terorisme berlaku selama enam bulan dan bila sudah dibebaskan dari penahanan pengawasan.

 

Oleh karena itu, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu melakukan pembenahan terhadap:

1)       Regulasi di perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang mempersempit munculnya pemikiran radikalisme yang bermotif kekerasan,

2)       Kurikulum pendidikan yang bermuatan kemajemukan dan toleransi, dengan memastikan bahwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi bagian dari kurikulum yang diajarkan mulai dari tingkat TK sampai perguran tinggi.

3)       Kompetensi guru agama yang andal mengkampanyekan pentingnya pemahaman agama yang terbuka dan toleran.

4)       Penerapan metode pembelajaran aktif dimana materi tidak hanya disampaikan melalui hafalan dan catatan tetapi langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan tersemainya benih-benih cinta perdamaian dan menghargai keberagaman,

5)       Media belajar dan buku-buku keagamaan yang wajib mengandung konten pembinaan ahlak dan pemahaman kebhinnekaan disertai pengawasan secara ketatperedaran buku di masyarakat yang bermuatan paham radikalisme

6)       Pendampingan dan pengawasan terhadap kegiatan ekstra kurikuler, sehingga meskipun lingkungan sekolah homogeny (siswa dan guru yang berlatar belakang etnis dan keagamaan yang sama) siswa tetap mendapat pengertian bahwa agama tidak menentang perbedaan dan menghargai kemajemukan. Selain itu Pemerintah perlu mengawasi secara ketat peredaran buku di masyarakat yang bermuatan paham radikalisme.


Strategi yang perlu dilakukan oleh Pemerintah yaitu :

1.       Perbaikan ekonomi masyarakat guna mengatasi kesenjangan sosial ekonomi dan membuka lapangan kerja. Seluruh sektor diintegrasikan untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.

Artinya negara harus mempertegas komitmen mewujudkan keadilan dan kejahteraan. Perhatian khusus harus diberikan kepada kaum muda. Dengan mendasari pemikiran bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berusia muda, maka salah satu sasaran pembangunan yang penting adalah menurunkan angka pengangguran yang didominasi jenjang usia muda, sehingga gejala sosial yang disebut para sosiolog sebagai anak muda ”prekariat” dapat diminimalisasi.

2.     Pengembangan kemitraan dan kerja sama antara Pemerintah dengan Tokoh-Tokoh Agama dan organisasi kemasyarakatan. NU dan Muhamadiyah dan tokoh-tokohnya termasuk tokoh-tokoh mantan komando jihad yang telah meninggalkan ideology radikalnya. Mereka harus dilibatkan secara aktif oleh Pemerintah untuk menghadapi darurat teroris saat ini.

3.     Merubah pola deradikalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah dengan pendekatan yang tepat.Pola pembinaan narapidana perlu dievaluasi, tidak mudah menjalankan program deradikalisasi karena menyangkut ideologi, ada yang menjadi teroris akibat “cuci otak” tetapi ada yang punya ideologi kuat. Seberat apapun hukum pidana bahkan hukuman mati sekalipun tidak sanggup melunturkan keyakinan ideology mereka. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mengubah pendekatan penanganan dari pendekatan ideologis represif ke pendekatan psikologis dan pemberdayaan. Untuk itu, perlu ada perubahan pola pendekatan, dari pola represif pemaksaan ideologis dengan menceramahi mantan napi tentang Pancasila, pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika kepada pola pendekatan psikologis dan pemberdayaan.  Dalam pendekatan psikologis dan pemberdayaan diterapkan pola disengagement. Disengagement adalah bagaimana menciptakan kondisi yang mendukung proses pemutusan hubungan para napi terorisme dari habitat lamanya yang pro-kekerasan sehingga menekan kemungkinan mereka kembali menjalankan aksi terror.

 


Strategi Pencegahan Melalui Deteksi Dini

Metode deteksi dini diterapkan secara efektif dengan melibatkan fungsi dan peran kelembagaan mulai dari tingkat RT/RW, desa/kelurahan, kecamatan hingga kabupaten dan provinsi. Maka keberadaan dan kemampuan unsur-unsur dalam tingkatan pemerintahan dimaksud harus terus ditingkatkan, diperkuat, dan dipertajam, khususnya dalam fungsi deteksi dini.

1.     Mengoptimalkan fungsi RT dan RW. Metode deteksi dini dilakukan dengan melibatkan dan memberdayakan masyarakat di tingkat RT/RW. RT/RW memainkan peranan strategis dan penting sebagai mata dan telinga pemerintah.Pengurus RT/RW merupakan orang-orang yang bisa memantau segala kejadian di wilayah permukiman, Ketua RT dan Ketua RW mengkoordinasikan pengawasan terhadap dinamika kependudukanyang lahir, kawin, cerai, mati dan perpindahan warga. Mereka juga dapat memantau aktifitas masyarakat dan tamu yang masuk dan keluar di lingkungannya. Lebih penting lagi melalui RT/RW dapat disosialisasikan bahaya paham radikal dan terorisme dengan melibatkan tokoh setempat dan seluruh warga, yang intinya informasi tentang paham radikalisme dan terorisme sampai ke masyarakat

2.     Membangun sinergi antar kelembagaan pemerintahan di tingkat desa dan kelurahan. Kepala Desa/Lurah, Bintara Pembina Kamtibmas (Babinkamtibmas) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) merupakan ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan di level desa dan kelurahan. Untuk itu perlu membangun sinergi antara ketiga unsur pemerintahan dimaksud untuk mendeteksi gerakan-gerakan teorisme yang selama ini tersembunyi, sehingga ancaman terorisme dapat diantisipasi dan dicegah lebih awal. Dalam pelaksanaannnya mereka dapat berkoordinasi dengan pemerintahan kecamatan dan Forum Kewaspadaan Dini Masyaraat di Daerah (FKDM).

3.     Membangun kerjasama sekaligus pembinaan dengan metode pemberdayaan kepada Eksnarapidana Teroris yang sudah ber NKRI, guna dalam menyebarkan hal-hal positif terhadap kelompok atau individu yang masih terpapar.

4.     Pendekatan pemberdayaan terhadap keluarga dan masyarakat yang rentan terpapar paham radikal.

 

Kesimpulan :

Penyebab radikalisme dan terorisme bersifat multi faktor. Dari perspektif sosial politik, radikalisme timbul karena adanya dominasi kelompok pada suatu sistem dan kesenjangan tajam yang menimbulkan fatalisme masyarakat. Perspektif sosiologis, pemicu radikalisme adalah krisis identitas yang menimpa generasi muda, ketergoncangan moral dan perbedaan ideologi dan jaringan sosial. Pemicu dari perspektif ekonomi adalah kesenjangan ekonomi yang menimbulkan kecemburuan sosial. Selain itu lemahnya regulasi juga memicu radikalisme dan maraknya aksi-aksi terorisme, lapangan kerja yang kurang sehingga angka pengangguran yang merajalela, mengakibatkan generasi muda melalukan yang hal-hal yang bertentangan dengan pancasila. Peran Pemerintah dalam rangka menanggulangi radikalisme dan aksi-aksi terorisme melalui upaya: penguatan kebijakan, penguatan institusi pendidikan formal, penataan pemanfaatan media, deradikalisasi yang masif dan intensif, meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pendekatan program yang berkelanjutan dan melakukan strategi pencegahan melalui deteksi dini, serta peran seluruh elemen yang, karena sejatinya butuh orang sekampung membangun kampung, butuh kesamaan tujuan dalam menjaga keutuhan NKRI.*


Penulis: 

Metro45


Editor:

(m/NI)


×
Berita Terbaru Update