![]() |
Foto ilustrasi (dok. istimewa) |
Narasi Indonesia.com, JAKARTA-Kata radikalisme dan terorisme tentu sudah tidak asing lagi bagi kita semuanya, dimana hal tersebut sering kita dengarkan dan kita lihat, baik secara langsung maupun tidak langsung, di berbagai media cetak dan elektronik. Radikalisme dan terorisme telah menimbulkan krisis keamanan nasional. Bangsa Indonesia sedang menghadapi krisis keamanan dalam negeri yang ditandai oleh munculnya gerakan-gerakan radikal yang mengumandangkan semangat anti ideologi Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal.
Ketika Bom Bali 1 tahun 2002 berlanjut Bom Bali 2 tahun 2005, Bom Sarinah Jakarta Pusat 14 Januari 2016, terakhir terror dan beberapa teror Bom lainnya, dunia tersentak tidak terkecuali Indonesia yang mayoritas berpenduduk agama islam. Namun lebih mengagetkan lagi, peristiwa pemboman tersebut kemudian dihubung-hubungkan dengan gerakan Islam fundamentalis radikal pimpinan Osamah bin Laden dan belakangan muncul pengaruh baru yaitu kelompok yang menamakan didirinya ISIS, dengan segala organ-organnya, seperti Jamaah Islamiyah. Bahkan, Jaringan Jamaah Islamiyah, dan ISIS (Negara Islam Irak dan Syam) di sinyalir berada di Indonesia.
Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Radikalisme Dan Terorisme di Indonesia
Radikalisme di Indonesia muncul tidak dalam ruang hampa.
Ummah (2012) mengidentifikasi prakondisi yang memicu tumbuhnya gerakan
radikalisme, yaitu: tekanan politik dan otoritarianisme, adanya emosi
keagamaan, faktor kultural dan faktor ideologis anti westernisasi. Tekanan
politik penguasa atau tekanan otoritarianisme pada masa Orde Baru, dimana
negara menumpas gerakan-gerakan radikal dan memandang radikalisme sebagai
common enemy yang harus dilenyapkan. Penangkapan, penyiksaan dan penculikan
terhadap tokoh-tokoh radikalisme kiri semacam Partai Rakyat Demokratik (PRD) di
era 90-an maupun tokoh kalangan radikalisme kanan seperti Komando jihad di era
80-an. Namun, di era reformasi arus demokratisasi membuka peluang munculnya
gerakan radikal kanan seperti Hizbut Tahrir Indonesia, (HTI), Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Salafi, Laskar Jundullah,
Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, Jamaah Ansharut Tauhid
(JAT), Negara Islam Indonesia (NII) dan berbagai agama bercorak lokal.
Selain tekanan politik, faktor emosi dan solidaritas
keagamaan turut memicu maraknya aksi radikalisme di awal reformasi. Kerusuhan
bernuansa SARA sebagaimana yang terjadi di Timor Timur, Poso, Ambon, Sambas,
termasuk aksi kekerasan kelompok FPI dengan Ahmadiyah di Cikeusik, kerusuhan di
Temanggung, Lombok dan kerusuhan Syiah dan NU di Madura merupakan bentuk-bentuk
kekerasan yang dilakukan oleh gerakan radikal. Faktor kultural turut menjadi
pemicu radikalisme dari perspektif antithesis terhadap budaya sekularisme dan
dominasi peradaban barat yang menyebabkan ketertindasan dan keterbelakangan
kehidupan negeri-negeri muslim. Selanjutnya, faktor ideologis menjadi pemicu
radikalisme ditandai dengan gerakan antiwesternisme yang diaplikasikan lewat
penghancuran simbol-simbol Barat dan penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi
dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan
tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme menunjukkan ketidak
mampuan persaingan dengan budaya dan peradaban Barat.
Peran Pemerintah Menanggulangi Radikalisme dan Terorisme
Menyadari keterbatasan pendalaman tentang penyebab
radikalisme yang bersifat multi wajah dan multi organisasi, maka menurut kami
pemerintah perlu menerapkan langkah strategis untuk pencegahan dan penanganan
radikalisme dan aksi-aksi terorisme di Indonesia yang mencakup: penguatan
kebijakan, penguatan institusi pendidikan formal, penataan pemanfaatan media
serta strategi yang tepat untuk deradikalisasi dan upaya berkelanjutan untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat.
Langkah
pertama adalah Pemerintah segera mempercepat revisi UU Anti Terorisme, yang
mengatur hal-hal berikut:
1) Mengatur kegiatan pembinaan, pencegahan dan
deradikalisasipelaku teror;
2)
Selain
mempertegas juga memperluas definisi makar, sehingga, WNI yang telah keluar
dari wilayah NKRI dan bergabung dengan NIIS dapat dianggap makar dan dipidana;
3) Aparat keamanan bisa menindak orang atau
organisasi kemasyarakatan yang menyatakan bergabung dengan kelompok radikal,
apalagi jika kelompok radikal telah melaksanakan pelatihan dan distribusi bahan
peledak dan alat elektronik untuk tujuan teror;
4) Menindak kegiatan kelompok teroris di dunia maya
dan internet, dan penaturan tindakan hukum terhadap hasutan untuk melakukan
tindakan terorisme, seperti seruan berupa tulisan, ceramah dan video;
5) Pengaturan koordinasi antar lembaga yaitu BNPT,
BIN, Densus, Bais TNI dan Kepolisian;
6) Penguatan posisi kepolisian tidak hanya pada
tahap penanggulangan tetapi juga pada tahapan pencegahan dan deradikalisasi.
7) Penuntutan dan pengusutan pelaku terorisme tidak
hanya pada orang perorang tetapi juga korporasi;
8) Pencabutan paspor bagi WNI yang bergabung dengan
kelompok radikal di luar negeri termasuk mengikuti pelatihan militer;
9) mengatur tentang pengawasan terhadap pelaku
terorisme berlaku selama enam bulan dan bila sudah dibebaskan dari penahanan
pengawasan.
Oleh
karena itu, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu
melakukan pembenahan terhadap:
1) Regulasi di perguruan tinggi dan sekolah-sekolah
yang mempersempit munculnya pemikiran radikalisme yang bermotif kekerasan,
2) Kurikulum pendidikan yang bermuatan kemajemukan
dan toleransi, dengan memastikan bahwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
menjadi bagian dari kurikulum yang diajarkan mulai dari tingkat TK sampai
perguran tinggi.
3) Kompetensi guru agama yang andal mengkampanyekan
pentingnya pemahaman agama yang terbuka dan toleran.
4) Penerapan metode pembelajaran aktif dimana
materi tidak hanya disampaikan melalui hafalan dan catatan tetapi langsung
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan tersemainya benih-benih
cinta perdamaian dan menghargai keberagaman,
5) Media belajar dan buku-buku keagamaan yang wajib
mengandung konten pembinaan ahlak dan pemahaman kebhinnekaan disertai
pengawasan secara ketatperedaran buku di masyarakat yang bermuatan paham
radikalisme
6)
Pendampingan
dan pengawasan terhadap kegiatan ekstra kurikuler, sehingga meskipun lingkungan
sekolah homogeny (siswa dan guru yang berlatar belakang etnis dan keagamaan
yang sama) siswa tetap mendapat pengertian bahwa agama tidak menentang
perbedaan dan menghargai kemajemukan. Selain itu Pemerintah perlu mengawasi
secara ketat peredaran buku di masyarakat yang bermuatan paham radikalisme.
Strategi yang perlu dilakukan oleh Pemerintah yaitu :
1. Perbaikan ekonomi masyarakat guna mengatasi
kesenjangan sosial ekonomi dan membuka lapangan kerja. Seluruh sektor
diintegrasikan untuk penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.
Artinya negara harus
mempertegas komitmen mewujudkan keadilan dan kejahteraan. Perhatian khusus
harus diberikan kepada kaum muda. Dengan mendasari pemikiran bahwa sebagian besar penduduk
Indonesia berusia muda, maka salah satu sasaran pembangunan yang penting adalah
menurunkan angka pengangguran yang didominasi jenjang usia muda, sehingga
gejala sosial yang disebut para sosiolog sebagai anak muda ”prekariat” dapat
diminimalisasi.
2. Pengembangan kemitraan dan kerja sama antara
Pemerintah dengan Tokoh-Tokoh Agama dan organisasi kemasyarakatan. NU dan
Muhamadiyah dan tokoh-tokohnya termasuk tokoh-tokoh mantan komando jihad yang
telah meninggalkan ideology radikalnya. Mereka harus dilibatkan secara aktif
oleh Pemerintah untuk menghadapi darurat teroris saat ini.
3. Merubah pola deradikalisasi yang dilakukan oleh
Pemerintah dengan pendekatan yang tepat.Pola pembinaan narapidana perlu
dievaluasi, tidak mudah menjalankan program deradikalisasi karena menyangkut
ideologi, ada yang menjadi teroris akibat “cuci otak” tetapi ada yang punya
ideologi kuat. Seberat apapun hukum pidana bahkan hukuman mati sekalipun tidak
sanggup melunturkan keyakinan ideology mereka. Oleh karena itu, Pemerintah
perlu mengubah pendekatan penanganan dari pendekatan ideologis represif ke
pendekatan psikologis dan pemberdayaan. Untuk itu, perlu ada perubahan pola
pendekatan, dari pola represif pemaksaan ideologis dengan menceramahi mantan
napi tentang Pancasila, pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika kepada pola pendekatan
psikologis dan pemberdayaan. Dalam
pendekatan psikologis dan pemberdayaan diterapkan pola disengagement.
Disengagement adalah bagaimana menciptakan kondisi yang mendukung proses
pemutusan hubungan para napi terorisme dari habitat lamanya yang pro-kekerasan
sehingga menekan kemungkinan mereka kembali menjalankan aksi terror.
Strategi Pencegahan Melalui Deteksi Dini
Metode deteksi dini diterapkan secara efektif
dengan melibatkan fungsi dan peran kelembagaan mulai dari tingkat RT/RW,
desa/kelurahan, kecamatan hingga kabupaten dan provinsi. Maka keberadaan dan
kemampuan unsur-unsur dalam tingkatan pemerintahan dimaksud harus terus
ditingkatkan, diperkuat, dan dipertajam, khususnya dalam fungsi deteksi dini.
1. Mengoptimalkan fungsi RT dan RW. Metode deteksi
dini dilakukan dengan melibatkan dan memberdayakan masyarakat di tingkat RT/RW.
RT/RW memainkan peranan strategis dan penting sebagai mata dan telinga
pemerintah.Pengurus RT/RW merupakan orang-orang yang bisa memantau segala
kejadian di wilayah permukiman, Ketua RT dan Ketua RW mengkoordinasikan
pengawasan terhadap dinamika kependudukanyang lahir, kawin, cerai, mati dan
perpindahan warga. Mereka juga dapat memantau aktifitas masyarakat dan tamu
yang masuk dan keluar di lingkungannya. Lebih penting lagi melalui RT/RW dapat
disosialisasikan bahaya paham radikal dan terorisme dengan melibatkan tokoh
setempat dan seluruh warga, yang intinya informasi tentang paham radikalisme
dan terorisme sampai ke masyarakat
2. Membangun sinergi antar kelembagaan pemerintahan
di tingkat desa dan kelurahan. Kepala Desa/Lurah, Bintara Pembina Kamtibmas
(Babinkamtibmas) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) merupakan ujung tombak
penyelenggaraan pemerintahan di level desa dan kelurahan. Untuk itu perlu
membangun sinergi antara ketiga unsur pemerintahan dimaksud untuk mendeteksi
gerakan-gerakan teorisme yang selama ini tersembunyi, sehingga ancaman
terorisme dapat diantisipasi dan dicegah lebih awal. Dalam pelaksanaannnya
mereka dapat berkoordinasi dengan pemerintahan kecamatan dan Forum Kewaspadaan
Dini Masyaraat di Daerah (FKDM).
3. Membangun kerjasama sekaligus pembinaan dengan
metode pemberdayaan kepada Eksnarapidana Teroris yang sudah ber NKRI, guna
dalam menyebarkan hal-hal positif terhadap kelompok atau individu yang masih
terpapar.
4. Pendekatan pemberdayaan terhadap keluarga dan
masyarakat yang rentan terpapar paham radikal.
Kesimpulan :
Penyebab radikalisme dan terorisme bersifat multi faktor. Dari
perspektif sosial politik, radikalisme timbul karena adanya dominasi kelompok
pada suatu sistem dan kesenjangan tajam yang menimbulkan fatalisme masyarakat.
Perspektif sosiologis, pemicu radikalisme adalah krisis identitas yang menimpa
generasi muda, ketergoncangan moral dan perbedaan ideologi dan jaringan sosial.
Pemicu dari perspektif ekonomi adalah kesenjangan ekonomi yang menimbulkan
kecemburuan sosial. Selain itu lemahnya regulasi juga memicu radikalisme dan
maraknya aksi-aksi terorisme, lapangan kerja yang kurang sehingga angka
pengangguran yang merajalela, mengakibatkan generasi muda melalukan yang
hal-hal yang bertentangan dengan pancasila. Peran Pemerintah dalam rangka
menanggulangi radikalisme dan aksi-aksi terorisme melalui upaya: penguatan
kebijakan, penguatan institusi pendidikan formal, penataan pemanfaatan media,
deradikalisasi yang masif dan intensif, meningkatkan perekonomian masyarakat
melalui pendekatan program yang berkelanjutan dan melakukan strategi pencegahan
melalui deteksi dini, serta peran seluruh elemen yang, karena sejatinya butuh
orang sekampung membangun kampung, butuh kesamaan tujuan dalam menjaga keutuhan
NKRI.*
Penulis:
Metro45
Editor:
(m/NI)