Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

PW SEMMI NTB: Pergub BTT Diduga Cacat Hukum dan Mengandung Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Aparat Penegak Hukum Diminta Bertindak

Sabtu, 25 Oktober 2025 | Oktober 25, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-25T16:56:40Z


Narasi Indonesia.com, Mataram - Pengurus Wilayah Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia (PW SEMMI) Nusa Tenggara Barat menilai telah terjadi pelanggaran serius dalam penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) NTB Nomor 2 Tahun 2025 dan Nomor 6 Tahun 2025, yang mengubah secara signifikan pos Belanja Tidak Terduga (BTT) dari semula Rp500,97 miliar menjadi hanya Rp161,60 miliar, pada Sabtu (25/10/2025).


Dalam analisis hukum yang dirilis hari ini, PW SEMMI NTB menyatakan bahwa dua Pergub tersebut cacat hukum formil dan substansial, serta bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.


Muhammad Rizal Ansari Ketua PW SEMMI NTB menegaskan, bunyi Pasal 163 dan 164 PP Nomor 12 Tahun 2019 secara tegas mengatur mekanisme pergeseran anggaran:


Pasal 163:

“Pergeseran anggaran dapat dilakukan antar organisasi, antar unit organisasi, antar program, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, antar obyek belanja, dan/atau antar rincian obyek belanja.”


Pasal 164 ayat (1):

“Pergeseran anggaran antar organisasi, antar unit organisasi, antar program, antar kegiatan, dan antar jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 dilakukan melalui perubahan Perda tentang APBD.”


Dengan demikian, setiap pergeseran antar jenis belanja termasuk pengurangan BTT dalam jumlah besar harus dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda) Perubahan APBD, bukan sekadar Pergub.


“Fakta bahwa Pemprov NTB menerbitkan Pergub Nomor 2 dan 6 Tahun 2025 untuk menurunkan BTT tanpa Perda adalah pelanggaran langsung terhadap Pasal 164 ayat (1) PP 12/2019. Itu artinya Pergub tersebut cacat hukum dan tidak memiliki dasar formil,” tegas Rizal Ketua PW SEMMI NTB.


Lebih jauh, Pasal 160 ayat (2) PP 12/2019 juga menegaskan bahwa:


“Pergeseran anggaran yang dilakukan melalui peraturan kepala daerah wajib disampaikan kepada DPRD paling lambat 1 bulan setelah ditetapkan.”


Namun hingga kini, tidak ada laporan resmi kepada DPRD NTB mengenai dasar dan alasan pergeseran BTT tersebut. Hal ini, menurut PW SEMMI NTB, merupakan pelanggaran administratif berat dan bentuk pengabaian fungsi pengawasan legislatif sebagaimana diatur dalam Pasal 149 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.


“Ketika Gubernur NTB mengubah struktur APBD tanpa pemberitahuan kepada DPRD, itu bukan hanya cacat administrasi, tapi juga tindakan melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang,” jelas pernyataan resmi Rizal Ketua  PW SEMMI NTB.


PW SEMMI NTB menilai bahwa pengurangan BTT hingga Rp339,36 miliar tanpa dasar keadaan darurat merupakan tindakan keliru secara kebijakan dan hukum, karena bertentangan dengan fungsi dasar BTT sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) PP 12/2019:


“Belanja Tidak Terduga digunakan untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang, seperti penanggulangan bencana alam, sosial, dan pengeluaran mendesak lainnya.”


Artinya, BTT tidak boleh dijadikan sumber dana alternatif untuk menambal kekurangan anggaran rutin atau program non-darurat. Dengan melakukan pergeseran yang tidak disertai penetapan keadaan darurat, Pemprov NTB telah menyalahgunakan fungsi BTT sebagai dana kontingensi publik.


Lebih jauh, PW SEMMI NTB menilai pergeseran BTT tersebut memenuhi unsur dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor:


“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun.”


Lebih jauh, Pasal 160 ayat (1) dan (2) PP Nomor 12 Tahun 2019 juga menegaskan bahwa:


“Pemerintah Daerah menyusun laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk enam bulan berikutnya, yang disampaikan kepada DPRD paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berkenaan.” Kemudian, Pasal 161 ayat (1) menyatakan bahwa laporan realisasi semester pertama tersebut menjadi dasar dalam melakukan perubahan APBD. Dengan demikian, setiap perubahan anggaran atau Pergub penjabaran APBD hanya sah apabila didasarkan pada laporan realisasi semester pertama APBD yang telah disampaikan kepada DPRD.


Faktanya, Pergub Nomor 2 Tahun 2025 diterbitkan pada 13 Maret 2025, dan Pergub Nomor 6 Tahun 2025 diterbitkan pada 28 Mei 2025 — jauh sebelum laporan realisasi semester pertama APBD 2025 disampaikan kepada DPRD (yang wajib disampaikan paling lambat Juli 2025). Artinya, kedua Pergub tersebut diterbitkan tanpa dasar hukum administratif yang sah, melanggar Pasal 160 dan Pasal 161 PP 12/2019, serta mencerminkan ketidakpatuhan terhadap asas tertib anggaran dan prinsip pengawasan legislatif. 


Menurut PW SEMMI NTB, apabila dana hasil pengurangan BTT digunakan untuk kegiatan non-darurat, bersifat rutin, atau memiliki kepentingan politik tertentu, maka unsur “penyalahgunaan kewenangan karena jabatan” terpenuhi.


“Pergub bukanlah alat kekuasaan untuk membelokkan APBD. Setiap rupiah uang rakyat harus dikelola dalam koridor hukum, bukan berdasarkan kepentingan politik sesaat. Pergub yang melanggar PP dan UU tidak hanya cacat formil, tapi juga melanggar prinsip integritas keuangan negara. Kami mendesak penegak hukum agar tidak tutup mata,” tegas PW SEMMI NTB dalam rilis resminya.*


(m/NI)

×
Berita Terbaru Update