×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Manifesto Kesetaraan Gender Politik: Membebaskan Perempuan Dari ‘Hantu’ Patriarki Dalam Sistem Kekuasaan

Rabu, 14 Mei 2025 | Mei 14, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-14T16:49:47Z

Opini: Ajeng Dewi Sutisna Putri

Narasi Indonesia.com, Jakarta- Dalam beberapa dekade terakhir, kesetaraan gender menjadi salah satu agenda penting dalam politik global. Namun di banyak negara, termasuk Indonesia, politik masih menjadi arena yang timpang gender. Perempuan masih menghadapi banyak hambatan untuk dapat bersaing setara dengan laki–laki dalam mendapatkan posisi strategis.. pemilu demi pemilu menunjukan bahwa meskipun kuota 30 persen keterwakilan perempuan sudah lama diupayakan, kenyataannya angka itu jarang tercapai. Ini bukan semata masalah representasi formal, tetapi juga cerminan struktur sosial yang masih patriarkal.

 

Kuota Tak Cukup Mengubah Sistem

Keterbatasan akses Perempuan dalam politik bukanlah perkara baru. Menurut laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tahun 2019, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya mencapai 20,5 persen. Banyak perempuan terhalang oleh berbagai faktor: dari beban ganda dalam rumah tangga, minimnya dukungan partai politik, hingga stereotip bahwa kepemimpinan adalah domain laki-laki. Padahal, partisipasi perempuan tak hanya penting dari sisi keadilan, tetapi juga menentukan kualitas kebijakan publik.

 

Suara Perempuan, Perspektif yang Terabaikan

Perempuan yang berhasil menembus dinding politik terbukti membawa perspektif yang berbeda. Mereka cenderung memperjuangkan isu-isu sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak isu yang kerap dipinggirkan. Tokoh seperti Angela Merkel atau Jacinda Ardern menunjukan gaya kepemimpinan berbasis empati dan inklusi bisa berhasil. Namun, keberhasilan segelintir tokoh tidak cukup membalik ketimpangan sistemik yang masih berlangsung dibanyak negara.

 

Kapitalisme dan Subordinasi Perempuan

Untuk memahami mengapa perempuan sulit menembus kekuasaan, kita bisa merujuk pada pemikiran Karl Marx dan Engels. Dalam The Origin of the Family, Private Property, and the State, Engels menjelaskan bahwa subordinasi perempuan dimulai sejak munculnya kepemilikan pribadi dan struktur keluarga patriarkal. Perempuan dijauhkan dari ranah publik dan dipaksa tinggal dalam ruang domestik. Struktur ini bertahan dalam kapitalisme modern, di mana kerja domestik perempuan tetap tak dihargai secara ekonomi.

 

Eksploitasi Ganda: Kerja dan Reproduksi

Feminisme Marxis menyoroti bagaimana perempuan mengalami eksploitasi ganda: sebagai buruh di luar rumah dan pekerja tak dibayar di dalam rumah. Silvia Federici misalnya, mengkritik bagaimana kapitalisme bertahan dengan mengeksploitasi kerja reproduktif perempuan. Dalam konteks politik, sistem ini menciptakan hambatan struktural—minimnya fasilitas sosial seperti penitipan anak dan cuti yang setara—yang membuat perempuan kesulitan bersaing di arena politik.

 

Representasi Tanpa Kuasa Nyata

Partisipasi politik perempuan sering kali bersifat simbolik. Mereka dijadikan "pemanis" citra partai, tapi jarang diberi ruang untuk membuat keputusan besar. Lebih parah lagi, perempuan dipaksa menyesuaikan diri dengan gaya politik laki-laki: hierarkis, agresif, dan penuh dominasi. Ini bukan bentuk demokrasi sejati. Jika kita ingin politik yang adil, maka pendekatannya harus berubah menjadi lebih partisipatif dan egaliter, sebagaimana dicita-citakan oleh para pemikir feminisme struktural.

 

Butuh Reformasi Sistemik, Bukan Sekadar Simbolik

Perubahan tidak bisa hanya bergantung pada individu. Negara dan partai politik harus membangun sistem yang mendukung keterlibatan perempuan. Ini bisa dimulai dari pendidikan politik berbasis gender, regulasi internal partai yang adil, serta penyediaan infrastruktur sosial. Seperti ditulis Shirin M. Rai, kesetaraan dalam politik harus dipahami sebagai jalan menuju demokrasi yang lebih inklusif, bukan hanya soal perhitungan angka kursi.

 

Meredefinisi Kekuasaan dan Demokrasi

Kesetaraan gender dalam politik bukan semata soal jumlah perempuan di parlemen. Ini adalah upaya meredefinisi makna kekuasaan—dari dominasi menjadi partisipasi. Dengan perspektif seperti feminisme Marxis, kita bisa melihat bahwa ketimpangan gender bukan kebetulan, tapi hasil dari sistem yang saling menguatkan antara kapitalisme dan patriarki. Maka, perjuangan perempuan dalam politik adalah bagian penting dari upaya menciptakan demokrasi yang lebih adil dan manusiawi.

 

Editor:

(m/NI)


×
Berita Terbaru Update