Narasi Indonesia.com, Jakarta - Anatomi Pertambangan Indonesia (API) mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) untuk segera mengusut tuntas dugaan tujuh pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT Sembaki Tambang Sentosa (STS) di wilayah Teluk Buli, Halmahera Timur, pada Rabu (30/4/2025).
Menurut Safrudin Taher, Direktur Riset dan Opini API, pelanggaran-pelanggaran tersebut mencerminkan praktik pertambangan ilegal yang terang-terangan melanggar hukum dan merugikan masyarakat serta lingkungan hidup. "Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk kejahatan struktural yang harus ditindak tegas," ungkap Safrudin Taher.
PT STS diduga membangun fasilitas jetty tanpa Amdal dan izin lingkungan, yang melanggar UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 22, 36, 69, dan 109. Menurut Safrudin Taher, tindakan ini membahayakan ekosistem pesisir dan menunjukkan kelalaian serius terhadap kewajiban dasar korporasi dalam pengelolaan lingkungan.
Selanjutnya, perusahaan juga diduga menyerobot lahan milik warga yang telah bersertifikat tanpa proses pembebasan yang sah. "Penyerobotan ini mencerminkan arogansi korporasi yang mengabaikan hak-hak masyarakat sipil," ujar Safrudin Taher, merujuk pada KUHP Pasal 385.
Tak hanya itu, menurutnya, PT STS juga melanggar hak masyarakat hukum adat dengan memasuki dan mengeksploitasi wilayah adat tanpa persetujuan resmi. Pelanggaran ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18B ayat (2), UU No. 11 Tahun 2020 jo. PP No. 22 Tahun 2021, serta UU No. 32 Tahun 2009.
Safrudin Taher juga menyoroti pelanggaran terhadap perintah Forkopimda. “Ketika PT STS tetap beroperasi meski sudah diperintahkan berhenti sementara, ini menandakan bahwa perusahaan merasa kebal terhadap hukum. Ini pelanggaran serius terhadap KUHP Pasal 216,” ungkapnya.
PT STS juga diduga menggunakan wilayah pesisir tanpa izin, pelanggaran terhadap UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014. “Pesisir adalah ruang publik strategis. Penggunaannya harus melalui proses izin yang sah. Jika dibiarkan, akan memicu konflik horizontal,” tegas Safrudin Taher.
Operasi tanpa dokumen Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN) turut menjadi sorotan. Menurut Safrudin Taher, “Tanpa ANDALALIN, aktivitas kendaraan berat PT STS sangat berpotensi menimbulkan kecelakaan dan kerusakan infrastruktur.”
Yang paling mencolok, ujar Safrudin Taher, adalah mobilisasi alat berat di luar wilayah konsesi resmi. Hal ini melanggar UU Minerba No. 3 Tahun 2020 dan UU Tata Ruang No. 26 Tahun 2007, dengan ancaman pidana berat hingga pencabutan IUP.
“Atas semua pelanggaran ini, negara tidak boleh diam. Kami mendesak ESDM mencabut izin tambang PT STS dan Mabes Polri segera bertindak hukum serta dilakukan upaya pemulihan terhadap lingkungan dan hak-hak masyarakat yang telah dirugikan,” pungkas Safrudin Taher.*
(m/NI)