Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

HMI Cabang Mataram: Press Release Aksi Serentak Himpunan Mahasiswa Islam Seluruh Indonesia

Senin, 10 Juni 2024 | Juni 10, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-06-10T18:48:13Z


Narasi Indonesia.com, MATARAM NTB-Rakyat Indonesia kembali harus menghadapi situasi sulit setelah negara lagi-lagi banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Ditengah menurunnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga-harga kebutuhan pokok maupun sekunder, wacana komersialisasi pendidikan, residu polarisasi pasca momentum politik 5 tahunan dan sulitnya lapangan pekerjaan yang dibuktikan oleh fenomena dimana banyak anak muda yang menganggur dengan angka mencapai 10 juta pengangguran. Negara justru kembali mengeluarkan kebijakan yang menjadi beban tambahan bagi rakyat. Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) melihat bahwa negara seolah tanpa beban memproduksi masalah baru bagi rakyat Indonesia, setidak-tidaknya dalam berbagai situasi yang sangat menyulitkan keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara, yakni bisa dilihat adanya TAPERA atau Tabungan Perumahan Rakyat, upaya Komersialisasi Pendidikan, korupsi di sektor pertambangan seperti PT Timah dan PT Aneka Tambang dan juga tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap aktivis mahasiswa terutama kepada kader HMI di berbagai daerah.


Kriminalisasi Aktivis

Sebagai negara yang menganut demokrasi dan kebebasan berpendapat, seharusnya menjamin hak-hak warga negaranya untuk berorganisasi, dan berpartisipasi dalam kehidupan publik bahkan bersuara tanpa memiliki rasa takut atas segala bentuk pengekangan dan intimidasi dalam bentuk kriminalisasi dan represifitas. Namun pada kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak aktivis mahasiswa di Indonesia yang mengalami intimidasi, penangkapan, dan bahkan kriminalisasi atas aktivitas mereka yang dianggap mengancam status quo. Para aktivis ini seringkali berjuang untuk isu-isu penting seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan keadilan serta kesejahteraan sosial. Mereka menggunakan hak mereka untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat, yang dilindungi konstitusi, undang-undang dan berbagai perjanjian internasional internasional yang telah diratifikasi di Indonesia. Seharusnya kritisisme aktivis tersebut didukung oleh segenap stakeholder pemerintah terutama oleh aparat kepolisian. 


Kriminalisasi aktivis sering kali dimulai dengan tuduhan yang kabur atau tidak jelas, seperti "penghinaan terhadap negara dan atau pemerintah", "penyebaran berita bohong/hoax" hingga dengan dalil “mengganggu ketertiban umum”. Proses hukum terhadap mereka sering kali tidak transparan dan penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan. Banyak di antara mereka yang ditahan tanpa proses yang adil, sementara yang lain menghadapi ancaman fisik dan mental, baik dari aparat penegak hukum maupun kelompok-kelompok yang mendukung pemerintah.

 

Fenomena ini mencerminkan adanya ketegangan antara kepentingan negara dan hak individu. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa tindakan mereka diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Namun, di sisi lain, tindakan ini justru mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan menciptakan iklim yang menghambat partisipasi warga negara dalam proses politik. Kasus kriminalisasi aktivis seperti yang dialami aktivis GMNI di Sumatera Utara, Aktivis HMI di Kota Sorong Papua Barat, dan aktivis HMI Cabang Dompu karena melakukan aksi unjuk rasa menuntut kenaikan harga jagung untuk rakyat. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan bagi iklim demokrasi di Indonesia, terlebih berbagai sikap arogansi hingga represifitas penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang semakin hari semakin dianggap wajar dan biasa. Upaya kriminalisasi terhadap aktivis bukan hanya melanggar hak individu mereka, tetapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Tanpa adanya ruang bagi kritik dan saran atas berbagai kebijakan pemerintah demokrasi akan kehilangan maknanya dan berubah menjadi otoritarianisme negara.


Kasus kriminalisasi terhadap 5 (lima) orang aktivis di kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat merupakan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi. Kriminalisasi ini menambah panjang daftar praktik kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa menggunakan instrumen hukum. Padahal, hak atas kebebasan berekspresi telah dijamin oleh hukum nasional maupun hukum internasional. 


Kriminalisasi merujuk pada penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Kriminalisasi merupakan wujud pe.nyalahgunaan wewenang dan pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada penegak hukum. Pembuktian kriminalisasi dapat dilakukan dengan mengindikasi latar belakang perkara. Adanya keuntungan tidak wajar yang akan diterima pelapor/penegak hukum, penggunaan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan peristiwa, hingga penangkapan tanpa bukti yang cukup dapat menjadi indikator terjadinya tindak kriminalisasi.


Iqbal Saputra, Ardiansyah, Alan Nurari, M. Habib, dan Sahwan merupakan aktivis mahasiswa yang mengalami kriminalisasi atas ekspresi dan pendapatnya. mereka ber-5 (lima) didiskriminasi oleh pejabat publik dengan menggunakan instrumen hukum setelah   melakukan aksi demonstrasi dengan masa aksi lain untuk menuntut kenaikan harga jagung dan kelancaran Air bersih PDAM Kabupaten Dompu. Dalam proses hukum yang berjalan ditemukan sejumlah kejanggalan yang mengarah pada dugaan adanya proses pemidanaan yang dipaksakan, seperti proses BAP yang tidak dilakukan dengan profesional dan transparan, diskriminatif dalam penanganan kasus, penetapan tersangka dengan terburu-buru dan menihilkan proses gelar perkara. 


Jika dibandingkan dengan banyak kasus lainnya, kepolisian kerap menunda laporan masyarakat sehingga membuat kasus tersebut mangkrak. Bahkan tak jarang kepolisian menolak laporan masyarakat sehingga memicu tagar #PercumaLaporPolisi. Sementara itu, terdapat beberapa kasus yang diadvokasi oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat di berbagai Kabupaten telah dilaporkan kepada kepolisian, akan tetapi mengalami kemandekan, seperti kasus penyiksaan oleh aparat dan kasus korupsi yang dilakukan pejabat publik. 


Komersialisasi Pendidikan

Meski Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI akan membatalkan Permendikbud Nomor 2 tahun 2024  tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bahkan menyatakan akan membatalkan kenaikan UKT di seluruh kampus yang mengajukan kenaikan UKT, namun hal tersebut harus tetap kita asumsikan pernah terjadi sebab telah menjadi kebijakan. Kita bayangkan jika kenaikan UKT tidak dibatalkan, biaya kuliah menjadi sangat mahal. Jika dilihat dari kacamata para petinggi kampus, seperti di Institusi Teknologi Bandung (ITB) mengalami kenaikan sebesar 16%, kemudian Universitas Airlangga (UNAIR) mengalami penambahan golongan yang pada mulanya 3-5 golongan menjadi 8 golongan, serta Universitas Gadjah Mada (UGM) mengalami kenaikan UKT pada 62 program studi sarjana dengan peningkatan tertinggi pada program studi Gizi yang mencapai 40,65%. 


Kemudian muncul juga asumsi bahwasanya dengan total APBN Rp3.300 triliun, 20% dari bagian tersebut merupakan anggaran pendidikan yang berkisar Rp660 triliun. Pembahasan pada raker ini yang mengungkit data kelompok UKT, menjelaskan tentang pembagian kelompok UKT menjadi tiga, yakni rendah (kelompok 1 dan 2), sedang (kelompok 3-7), serta tinggi (kelompok 8- 12).


Permasalahan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Indonesia telah menjadi isu yang sangat kompleks dan melibatkan berbagai pihak. Salah satu pihak yang sering dianggap sebagai aktor antagonis dalam permasalahan ini adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Hal ini dikarenakan kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan seringkali dianggap kurang berpihak pada mahasiswa, terutama dalam hal keringanan biaya pendidikan. 


Mahasiswa dan berbagai organisasi kemahasiswaan telah berulang kali menyuarakan keluhan mereka terkait tingginya UKT yang tidak sebanding dengan fasilitas dan kualitas pendidikan yang mereka terima. Permendikbud Nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi dasar dan semangat bagi perguruan tinggi untuk menaikan biaya kuliah bagi mahasiswa. Komersialisasi ini menjadi gambaran bahwa pendidikan di republik ini sudah didominasi oleh sistem kapitalis, dan bahkan tidak menutup kemungkinan nantinya terjadi di sektor-sektor yang lain.


TAPERA 

Merujuk pada rencana pemerintah melaksanakan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA), seluruh pegawai, baik PNS dan swasta, serta pekerja mandiri yang mendapatkan penghasilan sebesar upah minimum wajib menjadi peserta TAPERA. Hal tersebut dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Pelaksanaan TAPERA di proyeksikan pada tahun 2024 ini ditandai dengan adanya PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Pelaksanaan TAPERA menuai banyak polemik di masyarakat, bahkan antara menteri pun berbeda pendapat secara terbuka. Hal demikian barangkali juga disebabkan dana dari masyarakat ini yang jika dilihat berdasarkan rencana dan pelaksanaannya akan dikelola oleh sebuah badan yang biasa disebut dengan BP Tapera, bahkan dana yang telah tertampung di Tapera sudah mencapai Rp 8 triliun berdasarkan laporan keuangan BP Tapera 2022. Sedangkan BP Tapera melakukan kontrak investasi kolektif sebesar Rp3,32 triliun. Pada tahun yang sama, pemanfaatan dana Tapera hanya sebesar Rp640,8 miliar. Penempatan dana TAPERA lebih banyak pada Surat Utang Korporasi sebesar 47%. Kemudian, TAPERA juga melakukan penempatan dana sebesar 45% di instrumen investasi Surat Berharga Negara. Sisanya ditempatkan pada deposito perbankan dan giro. Dengan proporsi tersebut, maka pemerintah selaku pengelola APBN memang mempunyai kepentingan dalam pengelolaan dana TAPERA untuk pembelian SBN dimana proporsinya mencapai 45%. Penggunaannya pun tidak akan terbatas pada perumahan, melainkan bisa saja digunakan untuk program pemerintah mulai dari pembangunan IKN hingga makan siang gratis ke depan. 


Kebijakan tersebut dianggap memberatkan pekerja yang kemudian harus diwajibkan ikut dalam kepesertaan tabungan perumahan rakyat atau TAPERA. Iuran kepesertaannya pun cukup besar dengan penghitungan ad valorem atau persentase dari gaji atau upah. Yang mana jika pekerja tersebut berpendapatan di atas UMR, maka setiap bulan gajinya dipotong 2,5%. Penolakan pun muncul dari para pelaku dunia usaha yang juga keberatan dengan kewajiban menambahkan 0,5% dari gaji pekerja untuk iuran Tapera. Pertumbuhan ekonomi yang diklaim tinggi yakni 5,11% year on year pada kuartal 1-2024 tidak mampu menjelaskan secara komprehensif bagaimana tantangan ekonomi sepanjang 2024.


Korupsi Sumber Daya Alam

Seolah tiada hentinya praktik korupsi yang terjadi di Indonesia dan senantiasa menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara. Bulan April lalu, Indonesia digemparkan kasus mega korupsi yang diperkirakan berakibat pada kerugian keuangan negara sebesar Rp 271 triliun. Kasus mega korupsi tersebut bertajuk dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk sejak tahun 2015 hingga 2022. Kasus tersebut mengenai kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dengan pihak swasta yang dilakukan secara ilegal atau melawan hukum. Hasil pengelolaan tersebut pun dijual kembali kepada PT Timah Tbk sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara. Kerugian Rp 271 Triliun terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp. 157 Triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp. 60 Triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp. 5 Triliun. Selain itu, ada pula kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp. 47 Triliun. 


Kasus korupsi timah ini menjadi jumlah paling besar kerugian negara di sektor SDA. Selain itu, dugaan korupsi pada pengelolaan kegiatan usaha komoditas emas sebanyak 109 ton di PT Antam Tbk sejak 2010 hingga 2021. Enam orang General Manager UB PPLM PT. Aneka Tambang Tbk telah menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan aktivitas manufaktur ilegal dengan cara memberikan cap merek logo Antam terhadap 109 ton emas yang diperoleh secara ilegal. Pemberian cap ilegal yang tidak sesuai dengan ketentuan dan aturan ini menyebabkan PT Antam tidak mendapatkan pembayaran biaya atau hak eksklusifnya. Kewenangan melekatkan logam mulia milik swasta dengan merek Logam Mulia Antam hingga mengedarkan ke pasar bersamaan dengan produk logam mulia PT Antam yang resmi membuat logam mulia dengan merek ilegal ini mengerus pasar logam mulia PT Antam dan menyebabkan kerugian yang berlipat-lipat.


Kita Harus Berbenah

Bangsa Indonesia yang baru saja merayakan reformasi di bulan mei lalu, mesti dimaknai secara khidmat dan substansial, era reformasi bagi HMI tidak boleh hanya dimaknai sebatas euforia semu, lebih besar dari pada itu, reformasi bagi HMI meliputi falsafah cita-cita luhur bangsa Indonesia. Begitupun HMI dalam memandang esensi demokrasi yang tertuang dalam amanat reformasi yang hari ini seolah kian terlupakan. 


Negara yang seharusnya hadir sebagai sebuah instrumen yang merawat dan melanggengkan demokrasi, sebagaimana tertuang dalam amanat reformasi, justru malah menjadi aktor utama yang mengkebiri demokrasi dengan terus menerus mengubur mimpi rakyat untuk bisa hidup dengan sejahtera dan dengan tanpa rasa takut mendapat bahaya dan mendekam di jeruji besi dalam memberikan masukan, kritik dan saran kepada pemerintah. 


HMI sebagai organisasi perjuangan bagi mahasiswa islam di Indonesia dan organisasi kepemudaan yang akan terus meneguhkan kualitas dialektika republik, tentu tidak bisa hanya berdiam diri melihat kondisi rakyat yang terus-menerus mendapat kesulitan hidup yang diakibatkan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Melalui ragam diskusi dan pengkajian isu, HMI menilai bahwa kader-kader HMI harus proaktif dalam mempelajari, memahami serta kemudian menanggapi permasalahan kontemporer bangsa. Langkah HMI dalam menanggapi kesewenang-wenangan negara ini sudah tentu juga merupakan bentuk penegasan atas keberpihakan HMI kepada rakyat, dan peran HMI Untuk Indonesia. 


Sebagai bagian dari Intellectual community yang memiliki semangat keislaman dan keindonesiaan, HMI tentunya harus turut andil dalam mengawal perjalanan bangsa, menyuarakan dan mengadvokasi berbagai problem keumatan dan kebangsaan serta seluruh rangkaian produk kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Fungsi kontrol dalam bentuk aksi unjuk rasa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) perlu dilakukan untuk memastikan bahwa negara dengan seluruh perangkat di dalamnya tidak menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengambil sikap sebagai berikut :


1. Mendesak Pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat dan PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, serta secara efektif membatalkan program perumahan rakyat yang dimaksud; 


2. Mendesak pemerintah untuk segera menghentikan komersialisasi pendidikan dan memberikan pendidikan gratis bagi seluruh anak bangsa di semua jenjang pendidikan; 


3. Mendesak Kapolri untuk membebaskan seluruh aktivis mahasiswa utamanya kader HMI yang ditangkap dan ditahan di berbagai POLRES dan POLDA karena memperjuangkan nasib rakyat, serta meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI) agar mencopot Kepala Kepolisian Daerah (KAPOLDA) dan Kepala Kepolisian Resort (KAPOLRES) di wilayah tersebut;


4. Mendesak Presiden untuk memimpin dan memantau langsung proses pemberantasan berbagai kasus korupsi di Indonesia, utamanya kasus berkait dengan PT. Timah dan PT Aneka Tambang (Antam).*


Sumber: (HMI Cabang Mataram)

×
Berita Terbaru Update